Jumat, 11 November 2011

AsuhanKeperawatan Pada Klien Dengan Perubahan Sensori Persepsi : Halusinasi Pendengaran Di Ruang Kakaktua Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 Cipayung Jakarta


  
                                                                                                                       


Disusun oleh :
Choerudin
NIRM 06005




AKADEMI KEPERAWATAN RUMAH SAKIT PELNI
JAKARTA
TAHUN 2009








BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kecenderungan meningkatnya angka gangguan mental psikiatri di kalangan masyarakat saat ini dan yang akan datang akan terus menjadi masalah sekaligus menjadi tantangan bagi tenaga kesehatan khususnya komunitas profesi keperawatan. Kecenderungan (trend) gangguan mental psikiatri akan semakin meningkat seiring dengan berubahnya situasi ekonomi dan politik ke arah yang tidak menentu, prevalensinya bukan saja pada kalangan menengah ke bawah sebagai dampak langsung dari kesulitan ekonomi tetapi juga kalangan menengah ke atas sebagai dampak langsung atau tidak langsung ketidakmampuan individu dalam penyesuaiaan diri terhadap perubahan sosial yang terus berubah.
Gangguan jiwa dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu gangguan jiwa ringan (Neurosa) dan gangguan jiwa berat (Psikosis). Psikosis sebagai salah satu bentuk gangguan jiwa merupakan ketidakmampuan untuk berkomunikasi atau mengenali realitas yang menimbulkan kesukaran dalam kemampuan seseorang untuk berperan sebagaimana mestinya dalam kehidupan sehari – hari. (Maramis, 2004).
Menurut Direktur Bina Pelayanaan Kesehatan jiwa Departemen Kesehatan Yulizar Darwis (Tahun 2007), gangguan psikotik ditandai dengan gejala menarik diri dari lingkungan, kesulitan berfikiran memusatkan perhatian, gelisah dan bertingkah laku atau bicara kacau, sulit tidur, mudah tersinggung dan mudah marah,  serta   suka mendengar atau melihat sesuatu yang tidak nyata. Salah satu jenis gangguan psikotik adalah skizofrenia.
Klien dengan Skizofrenia mempunyai gejala utama penurunan sensori persepsi : Halusinasi. Jenis halusinasi yang umum terjadi adalah halusinasi pendengaran dan penglihatan.  Gangguan  halusinasi ini  umumnya  mengarah   pada perilaku yang membahayakan orang lain, klien sendiri dan lingkungan (www.lensaprofesi.blogspot.com).
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah serius. Pada 2001 WHO memperkirakan sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan jiwa.
Di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga 1995 didapatkan prevalensi gangguan jiwa 264 per 1.000 anggota rumah tangga. Rinciannya, psikosis tiga per 1.000, demensia (pikun) empat per 1.000, retardasi mental lima per 1.000, gangguan mental emosional pada anak dan remaja (4-15 tahun) 104 per 1.000, gangguan mental emosional pada dewasa (di atas15 tahun) 140 per 1.000, dan gangguan jiwa lain lima per 1.000. (Sumber : Kompas, Kamis, 11 Oktober 2001).
Dalam hal ini, menurut Prof Dr Azrul Azswar MPH, Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes, angka itu menunjukan jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa di masyarakat Indonesia sangat tinggi. Yakni satu dari empat penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa dari rasa cemas, depresi, stres, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja sampai skizofrenia.  
Prevalensi skizofrenia adalah 0,2-2 persen dari populasi. Jika diasumsikan prevalensi di Indonesia 1 persen dan jumlah penduduk 220 juta jiwa, setidaknya ada 2,2 juta penduduk Indonesia menderita skizofrenia. Jumlah itu tidak mungkin tertampung di rumah sakit jiwa di bawah Depkes, yaitu RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta, RSJ Bogor, RSJ Magelang, RSJ Malang, ataupun rumah sakit jiwa milik pemerintah daerah lainnya.
Di DKI Jakarta, tiga panti, yaitu PSBL Harapan Sentosa 1 Cengkareng, PSBL Harapan Sentosa 2 Cipayung, dan PSBL Harapan Sentosa 3 Ceger, serta Sasana Daan Mogot dan RSJ Duren Sawit menampung penderita psikotik jauh melebihi kapasitas.( www.prakarsa-rakyat.org).
Dari data Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 Cipayung Jakarta Timur pada bulan oktober tahun 2008 jumlah pasien 382 orang. Yang terkaji oleh mahasiswa Akper Rumah Sakit Pelni ada 76  orang dengan gangguan sensori persepsi : halusinasi sebanyak 26 jiwa ( 34,2 %), harga diri rendah sebanyak 25 jiwa (32,8 %) dan isolasi sosial sebanyak 25 jiwa (32,8 %). Data sampai bulan Juni tahun 2009 jumlah pasien 398 jiwa dengan laki-laki sebanyak 281 jiwa (70.6 %), perempuan 117 jiwa (29.4%).
Berdasarkan peningkatan angka penderita gangguan jiwa diatas bahwa tidak hanya terjadi dirumah sakit jiwa, bahkan terjadi juga di panti-panti sosial seperti di Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 Jakarta Timur. Panti itu menampung penderita gangguan psikotik yang telantar, biasa disebut warga binaan sosial (WBS), hasil penertiban Tim Kentraman dan Ketertiban Pemerintah Daerah DKI Jakarta saat melakukan razia di jalan-jalan Jakarta. Dan bekerjasama dengan Rumah Sakit Duren Sawit, dimana mereka yang terjaring akan ditempatkan disana. (www.prakarsa-rakyat.org).
Dari 13 kasus yang diambil oleh mahasiswa Akademi Keperawatan Rumah Sakit PELNI angkatan XI tahun 2009, 5 mahasiswa mengambil kasus perubahan sensori persepsi : halusinasi, 4 mahasiswa mengambil kasus isolasi sosial : menarik diri dan 4 mahasiswa mengambil gangguan konsep diri : harga diri rendah. Klien dengan halusinasi bila tidak mendapatkan penanganan yang tepat dan asuhan keperawatan yang komprehensif akan menimbulkan dampak resiko tinggi mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan serta perilaku kekerasan.
Peran perawat sangat dibutuhkan dalam hal ini, dari peran promotif perawat yaitu memberikan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang masalah gangguan jiwa sehingga stagmatisasi yang kelirupun dapat dihapuskan, peran preventif yaitu dengan menganjurkan keluarga atau individu agar bila mempunyai masalah menggunakan koping yang adaptif, peran kuratif yaitu memantau kesehatan klien yang sedang pengobatan dan dari segi rehabilitatif yakni agar klien dengan gangguan sensori persepsi : halusinasi pendengaran, dapat melakukan kembali kegiatan sehari-hari dengan frekuensi kekambuhan yang minimal.
Berdasarkan rentannya kekerapan kejadian gangguan jiwa di Indonesia, dampak lanjutan bila penderita tidak segera ditangani dan pentingnya peran perawat dalam hal ini, maka penulis tertarik untuk mengambil kasus asuhan keperawatan pada Ny. R dengan perubahan sensori persepsi : halusinasi pendengaran di ruang Kakaktua Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 Cipayung Jakarta.
B.  Tujuan Penulisan
1.   Tujuan Umum
Penulis ingin mendapatkan pengalaman secara nyata dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan perubahan sensori persepsi: halusinasi pendengaran di ruang Kakaktua Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 Cipayung Jakarta.
2.   Tujuan Khusus
Setelah melaksanakan asuhan keperawatan pada klien Ny. R dengan perubahan sensori persepsi : halusinasi pendengaran, diharapkan penulis mampu:
a.       Melakukan pengkajian pada klien dengan halusinasi pendengaran
b.      Merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan perubahan sensori persepsi : halusinasi pendengaran
c.       Menyusun rencana keperawatan pada klien dengan perubahan sensori persepsi : halusinasi pendengaran
d.      Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan perubahan sensori persepsi : halusinasi pendengaran
e.       Melakukan evaluasi pelaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan perubahan sensori persepsi : halusinasi pendengaran
f.       Mengidentifikasi kesenjangan yang terdapat antara teori dan kasus pada klien dengan perubahan sensori persepsi : halusinasi pendengaran
g.      Mengidentifikasi faktor – faktor pendukung, penghambat serta dapat mencari solusinya
h.      Mendokumentasikan asuhan keperawatan pada klien perubahan sensori persepsi : halusinasi pendengaran.
C.  Ruang Lingkup
Penulisan     makalah    ilmiah    ini    merupakan    pembahasan   pemberian   asuhan keperawatan pada Ny. R dengan perubahan sensori persepsi : halusinasi pendengaran di ruang Kakaktua Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 Cipayung Jakarta yang dilaksanakan pada tanggal 13 – 15 Juli 2009.
D.  Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode deskriptif yang menggambarkan penerapan asuhan keperawatan pada klien Ny. R dengan perubahan sensori persepsi yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data, menganalisa dan menarik kesimpulan kemudian dituangkan dalam bentuk narasi, penulis memperoleh informasi melalui wawancara, observasi, studi dokumentasi yakni mempelajari data klien dan file, studi kasus yakni memberi asuhan keperawatan secara langsung pada klien dengan perubahan sensori persepsi. Metode kepustakaan yakni menggunakan beberapa buku sumber sebagai referensi dalam pembuatan makalah ini.
E.  Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun secara sistematis yang terdiri dari lima Bab yaitu : Bab I  Pendahuluan berisi latar belakang, tujuan penulisan, ruang lingkup, metode penulisan dan sistematika penulisan, Bab II Tinjauan teori yang terdiri dari  konsep dasar berisi pengertian, psikodinamika, rentang respon serta asuhan keperawatan berisi pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan, pelaksanaan keperawatan dan evaluasi keperawatan. Bab III Tinjauan kasus terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Bab IV Pembahasan berisi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan, pelaksanaan keperawatan dan evaluasi. Bab V Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran.




 


 





BAB II

TINJAUAN TEORI

A.    Pengertian
Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses diterimanya rangsang sampai rangsang itu disadari dan dimengerti oleh penginderaan atau sensasi : proses penerimaan rangsang (Stuart, 2007: http://harnawatiaj.wordpress.com)
Halusinasi didefinisikan sebagai kesan atau pengalaman sensori yang  salah. (Stuart, 2006: hal. 72).
Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) misalnya penderita mendengar suara-suara, bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara bisikan itu (Hawari, 2001: http://harnawatiaj.wordpress.com).
Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara atau bunyi yang berkisar dari suara sederhana sampai suara yang berbicara mengenai klien sehingga klien berespon terhadap suara atau bunyi tersebut. (Stuart, 2007: http://harnawatiaj.wordpress.com).
B.     Psikodinamika
1.      Etiologi
Halusinasi pendengaran (auditorik) secara spesifik tidak diketahui penyebabnya namun diperkirakan yang sangat berperan adalah jalur mesolimbik yang memproyeksikan jalur dopamin dari badan sel didaerah ventral   tagmentalbatang otak ke terminal akson daerah limbik seperti nukleus accumben. Hiperaktivitas dari jalur ini secara hipotesis diduga berperan penting terhadap timbulnya gejala positif psikosis.
Menurut Siti Sidah Nasution. SKp dikutip dari Mary Durant Thomas, Halusinasi dapat terjadi pada   klien  dengan gangguan  jiwa  seperti  skizoprenia, depresi atau keadaan delirium, demensia dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan alkohol, epilepsi, kondisi infeksi sistemik dengan gangguan metabolik. Halusinasi juga dapat dialami sebagai efek samping dari berbagai pengobatan yang meliputi anti depresi, anti kolinergik, anti inflamasi dan antibiotik, sedangkan obat-obatan halusinogenik dapat membuat terjadinya halusinasi. Pada saat keadaan individu normal yaitu pada individu yang mengalami isolasi, perubahan sensorik seperti kebutaan, kurangnya pendengaran atau adanya permasalahan pada pembicaraan dapat juga terjadi halusinasi
2.      Proses Terjadinya Masalah
Halusinasi dapat terjadi oleh karena berbagai faktor diantaranya gangguan mental organik (skizofrenia), harga diri rendah, menarik diri, sidrome putus obat, keracunan obat, gangguan afektif dan gangguan tidur. Skizofrenia  disebabkan oleh salah satu atau lebih dari tiga kemungkinan berikut : pertama, terjadi hambatan terhadap sinyal-sinyal saraf lobus prefrontalis atau terjadi disfungsional pada pengolahan sinyal-sinyal. Kedua, perangsangan yang berlebihan terhadap sekelompok neuron yang mensekresi dopamin di pusat-pusat perilaku otak, termasuk di lobus frontalis, dan atau ketiga, abnormalitas fungsi dari bagian-bagian penting pada pusat-pusat sistem pengatur tingkah laku limbic di sekeliling hipokampus di otak. Alasan untuk mempercayai bahwa lobus prefrontalis terlibat dalam skizofrenia dapat merupakan akibat dari penurunan dorongan saraf dari area otak yang lain. Dopamin juga merupakan penyebab skizoprenia secara tidak langsung, karena pasien yang mengalami gejala-gejala seperti skizofrenia ketika mereka diobati dengan obat yang disebut L-DOPA. Obat ini melepaskan dopamin dalam otak dan juga menekan berbagai bagian lobus prefrontalis dan area yang berkaitan lainnya. Telah diduga bahwa skizofrenia terjadi karena kelebihan dopamin yang disekresikan oleh sekelompok neuron yang mensekresi dopamin yang badan selnya  terletak ditegmentum ventral dari mesensefalon, disebelah medial dan superior dari substansi nigra. Neuro ini menghasilkan sistem dopaminergik mesolimbik yang menjulurkan serat-serat saraf kebagian medial dan anterior dari sitem limbik, khususnya ke hipokampus, amigdala, nukleus kaudatus anterior dan sebagian lobus prefrontalis. Semua ini merupakan pusat-pusat pengatur tingkah laku yang sangat kuat. Skizofrenia mungkin juga disebabkan oleh produksi dopamin yang berlebihan  ialah bahwa banyak obat yang bersifat efektif untuk mengobati skizofrenia seperti klorfromazine dan haloperidol semuanya menurunkan sekresi dopamin pada ujung-ujung saraf dopaminergik atau merunkan efek dopamin pada neuron selanjutnya.
Halusinasi klien timbul karena perubahan hubungan sosial. Perkembangan sosial yang tidak adekuat menyebabkan kegagalan individu untuk belajar dan mempertahankan komunikasi dengan orang lain. Akibatnya klien cenderung memisahkan diri dan hanya terlibat dengan pikirannya sendiri yang tidak memerlukan kontrol orang lain. Sehingga timbulnya kesepian, isolasi sosial, hubungan yang dangkal dan tergantung.
Halusinasi terjadi karena individu mempunyai mekanisme koping yang tidak adekuat, mengalami trauma, koping keluarga yang tidak efektif. Hal-hal tersebut menyebabkan individu mempunyai harga diri rendah, kilen akan mengalami depresi  karena individu tersebut tidak ingin membicarakan masalahnya dengan orang lain sehingga masalah klien tersebut tidak terselesaikan.
Tahap terjadinya halusinasi terdiri dari empat fase menurut Stuart dan Laraia (2001) dan setiap fase memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu:
Fase I : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.
Fase II : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.
Fase III : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.
Fase IV : Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan.
Menurut Stuart (2007) halusinasi terdiri dari tujuh jenis yaitu :
a.       Pendengaran
Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat membahayakan.
b.      Penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar kartun, bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bias yang menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster.
c.       Penghidu
Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat stroke, tumor, kejang, atau dimensia.
d.      Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
e.       Perabaan
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
f.       Cenestetik
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makan atau pembentukan urine.
g.      Kinistetik
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
3.      Komplikasi
Menurut Stuart dan Laraia (2009. Hal 30). Dampak dari perubahan halusinasi adalah :
a.       Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan (perilaku kekerasan). Hal ini terjadi bila isi halusinasi bersifat mengancam atau mengganggu klien hingga klien dengan halusinasi kronik cenderung untuk marah-marah dan mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
b.      Kerusakan interaksi sosial, hal ini terjadi karena perilaku klien yang sering marah-marah dan resiko mencederai lingkungan sehingga lingkungan akan menjauh dan mengisolasinya.
Perubahan sensori persepsi bila tidak diberikan asuhan keperawatan secara komprehensif sesuai prinsip – prinsipnya akan menimbulkan komplikasi yaitu mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan karena pada tingkat halusinasi yang kronis akan terjadi ansietas tinggi sampai panik dengan perilaku menyerang seperti amuk. (Stuart, 1998: hal: 329 ).

C.    Rentang Respon Neurobiologis
Halusinasi  berhubungan dengan persepsi yang mengacu pada identifikasi dan interpretasi awal dari suatu stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra. Respon setiap orang dapat berbeda dalam menanggapinya, tergantung apakah masuk kedalam respon adaptif atau respon maladaptive, berikut ini akan menggambarkan rentang respon yang dimiliki oleh setiap orang.
 
  Respons adaptif                                    Respons mal adaptif


Perilaku logis
Persepsi akurat
Emosi konsisten dengan pengalaman
Perilaku sesuai
Hubungan sosial

Pikiran kadang menyimpang
 Ilusi
Reaksi emosional berlebihan   atau kurang
Perilaku ganjil atau tak lazim
Menarik diri


Kelainan pikiran/delusi
Halusinasi
Ketidakmampuan untuk
      mengalami emosi
Ketidakteraturan
Isolasi social






 (Stuart, 2006: hal. 241 )
Pikiran logis yaitu ide yang berjualan secara logis dan koheren.
Persepsi akurat yaitu proses diterimanya rangsang melalui panca indera yang didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang sesuatu yang ada didalam maupun diluar dirinya.
Emosi konsisten yaitu manifestasi perasaan yang konsisten atau afek keluar disertai banyak komponen psikologik dan biasanya berlangsung tidak lama.
Perilaku sesuai yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata dalam penyelesaian masalah masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya umum yang berlaku.
Hubungan sosial harmonis yaitu hubungan yang dinamis menyangkut hubungan antara individu dan individu, individu dan kelompok dalam bentuk kerjasama.
Proses pikir kadang terganggu (ilusi) yaitu manifestasi dari persepsi impuls eksternal melalui alat panca indra yang memproduksi gambaran sensorik pada area tertentu diotak kemudian diinterprestasi sesuai dengan kejadian yang telah dialaminya sebelumnya.
Emosi berlebihan atau kurang yaitu manifestasi perasaan atau afek keluar berlebihan atau kurang.
Perilaku tidak sesuai atau biasa yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata dalam penyelesaian masalah yang tidak diterima oleh norma sosial atau budaya umum.
Menarik diri yaitu percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain.
Isolasi sosial yaitu menghindari dan dihindari oleh lingkungan sosial dalam berinteraksi
Berdasarkan gambar diketahui bahwa halusinasi merupakan respon  persepsi paling mal adaptif. Jika klien sehat, persepsi akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera, sedangkan klien dengan halusinasi mempersepsikan sesuatu stimulus panca indera walaupun sebenarnya stimulus itu tidak ada.

D.    Asuhan Keperawatan
1.      Pengkajian Keperawatan
Menurut Stuart dan Laraia (2001), pengkajian merupakan tahapan awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokkam menjadi faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan kemampuan koping yang dimiliki klien.
Berbagai aspek pengkajian sesuai dengan pedoman pengkajian umum, pada formulir pengkajian proses keperawatan. Pengkajian menurut Keliat (2006) meliputi beberapa faktor antara lain:
Identitas klien dan penanggung, Yang perlu dikaji yaitu: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, status, pendidikan, pekerjaan, dan alamat.
Alasan masuk rumah sakit, Umumnya klien halusinasi di bawa ke rumah sakit karena keluarga merasa tidak mampu merawat, terganggu karena perilaku klien dan hal lain, gejala yang dinampakkan di rumah sehingga klien dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.
a.    Faktor predisposisi
1)      Faktor perkembangan terlambat
a)   Usia bayi tidak terpenuhi kebutuhan makanan, minum dan rasa aman.
b)   Usia balita, tidak terpenuhi kebutuhan otonomi.
c)   Usia sekolah mengalami peristiwa yang tidak terselesaikan.
2)      Faktor komunikasi dalam keluarga
a)   Komunikasi peran ganda.
b)   Tidak ada komunikasi.
c)   Tidak ada kehangatan.
d)  Komunikasi dengan emosi berlebihan.
e)   Komunikasi tertutup.
f)    Orang tua yang membandingkan anak – anaknya, orang tua yang otoritas dan komplik orang tua.
3)        Faktor sosial budaya
Isolasi sosial pada yang usia lanjut, cacat, sakit kronis, tuntutan lingkungan yang terlalu tinggi.
4)      Faktor psikologis
Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup diri, ideal diri tinggi, harga diri rendah, identitas diri tidak jelas, krisis peran, gambaran diri negatif dan koping destruktif.
5)      Faktor biologis
Adanya kejadian terhadap fisik, berupa : atrofi otak, pembesaran vertikel, perubahan besar dan bentuk sel korteks dan limbik.
6)      Faktor genetik
Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui kromoson tertentu. Namun demikian kromoson yang keberapa yang menjadi faktor penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Diduga letak gen skizofrenia adalah kromoson nomor enam, dengan kontribusi genetik tambahan nomor 4,8,5 dan 22. Anak kembar identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya mengalami skizofrenia, sementara jika di zygote peluangnya sebesar 15 %, seorang anak yang salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15% mengalami skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka peluangnya menjadi 35 %.
b.    Faktor presipitasi
Faktor presipitasi adalah faktor pencetus sebelum timbul gejala. Adapun faktor presipitasi klien dengan halusinasi adalah sebagai berikut :
1)      Stressor sosial-budaya
Stress dan kecemasan akan meningkat apabila terjadi penurunan stabilitas keluarga, perpisahan dengan orang terpenting atau disingkirkan dari kelompok.
2)      Faktor biokimia
Berbagai penelitian tentang dopamine, norepinefrin, zat halusinogenik diduga berkaitan dengan halusinasi.
3)      Faktor psikologik
Intensitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan mengatasi masalah memungkinkan perkembangan gangguan sensori persepsi halusinasi.
c.    Manifestasi Klinis (Perilaku)
Perilaku halusinasi berkaitan dengan perubahan emosi, intelektual dan spiritual.
1)   Fisik
Muka merah, kadang pucat, ekspresi dengan perubahan wajah tegang, tekanan darah meningkat, napas terengah-engah, nadi cepat, tertawa sendiri, timbul gangguan kebutuhan nutrisi.
2)   Emosi
Ketakutan dengan rasa tegang dan rasa tidak aman, tidak berdaya, mengalihkan diri sendiri atau orang lain, sikap curiga dan saling bermusuhan, marah, jengkel, dendam dan sakit hati.
3)   Sosial
Menarik diri, menghindar dari orang lain, berbicara / komunikasi verbal terganggu, bicara inkoheren dan tidak masuk akal, menarik diri.
4)   Intelektual
Tidak dapat membedakan nyata dan tidak nyata, sulit membuat keputusan, tidak dapat memusatkan perhatian tidak dapat konsentrasi, tidak mampu berfikir, abstrak dan daya ingat menurun.
5)   Spiritual
Mengatakan suara-suara tuhan berasal dari planet akibat dari isolasi kepribadian maka terjadi gangguan fungsi mental.
d.   Mekanisme koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi pasien dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologist pasien dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologist maladaptive meliputi :
1)        Regresi yakni menghindari stres, kecemasan dengan menampilkan perilaku kembali seperti pada perkembangan anak-anak kecemasan atau stres yang dialami dialihkan dengan perilaku seperti anak-anak : bermain, tidur, meringkuk.
2)        Projeksi yakni keinginan yang tidak dapat ditolreansi, mencurahkan emosi kepada orang lain karena kesalahan yang dilakukan sendiri
3)        Menarik diri perilaku untuk menghindari hubungan dengan orang lain
(Stuart, 2006 : hal. 249)
e.    Sumber koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu   dapat mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping  dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan   masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu   seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan   mengadopsi strategi koping yang berhasil.
f.     Pemeriksaan Diagnostik
1)        CT SCAN  : dapat menunjukkan struktur abnormalitas otak pada beberapa kasus skizofrenia ( misal : atropi labus temporal ) : pembesaran ventrikel dengan rasio ventrikel. Otak meningkat yang dapat dihubungkan dengan derajat gejala yang dapat dilihat.
2)        Pemindai PET (positron emission tomography) mengukur aktivitas metabolik dari area spesifik otak dan dapat menyatakan aktivitas metabolik yang rendah dari lobus frontal, terutam pada area prefrontal dari konteks serebral.
3)        MRI   : Memberi gambaran otak tiga dimensi, dapat memperlihat gambar yang lebih kecil dari lobus frontal rata-rata, atropi lobus temporal (terutama hipokompus, girus parahipokompus dan girus temporal superior).
4)        RCBF (Regional Cerebral Blood Flow) : memetakan aliran darah dan menyatakan intensitas aktivitas pada daerah otak yang bervariasi.
5)        BEAM (Brain Electrical Activity Mapping) : menunjukan respon gelombang otak terhadaprangsangan yang bervariasi disertai dengan adanya respon yang terlambat dan menurun, kadang-kadang dilobus temporal dan sistem limbik
6)        ASI (Addiction Severity Index) : menentukan masalah-masalah (ketergantungan zat), yang mungkin dikaitkan area pengobatan yang diperlukan.
7)        UJI Psikologis (mis, MMPI) : menyatakan kerusakan pada satu area atau lebih, catatan :tipe paranoid biasanya menunjukkan sedikit atau tidak ada kerusakan.
(Doenges, 2006: hal. 253)
g.    Pohon masalah
Resiko Perilaku Kekerasan
Gangguan sensori persepsi : Halusinasi
 
 



         Isolasi sosial
2.      Diagnosa Keperawatan
a.    Gangguan sensori persepsi : Halusinasi
b.    Isolasi sosial
c.    Resiko perilaku kekerasan

3.      Perencanaan Keperawatan
a.    Gangguan sensori persepsi : Halusinasi ( lihat, dengar, penghidu, raba, kecap).
Dengan tujuan umum Klien dapat mengontrol halusinasi yang dialaminya.
1)        Tujuan khusus pertama : Klien akan dapat membina hubungan saling percaya. Kriteria Evaluasi     :            Setelah ....x interaksi klien menunjukkan tanda-tanda perawat seperti ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, mau menyebutkan nama, mau menjawab salam, mau duduk berdampingan dengan perawat, bersedia mengungkapkan masalah yang dihadapi. Intervensi      adalah Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komuikatif terapeutik : sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal, perkenalkan nama, nama panggilan dan tujuan perawat berkenalan, tanyakan nama lengkap dan nama panggilan yang disukai klien, buat kontrak yang jelas, tunjukkan sikap yang jujur dan menepati janji setiap kali interaksi, tunjukkan sikap empati dan menerima apa adanya, beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan pada klien, tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien, dengarkan dengan penuh perhatian ekspresi perasaan klien
2)        Tujuan khusus kedua : Klien dapat mengenal halusinasinya. Kriteria Evaluasi : Setelah ....x interaksi klien menyebutkan : isi, waktu, frekuensi, situasi     dan     kondisi  yang  menimbulkan   halusinasi.  Intervensi : Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap, observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya( halusinasi dengar/lihat, penghidu, raba, kecap), jika menemukan klien yang sedang halusinasi : tanyakan apakah klien mengalami sesuatu (halusinasi dengar/lihat, penghidu, raba, kecap), jika klien menjawab ya, tanyakan apa yang sedang dialaminya, katakan bahwa perawat percaya pada klien mengalami hal tersebut, namun perawat sendiri tidak mengalaminya, katakan bahwa ada klien lain yang mengalami hal yang sama, katakan bahwa perawat akan membantu klien, jika klien tidak sedang berhalusinasi klarifikasikan tentang adanya pengalaman halusinasi, diskusikan dengan klien : isi, waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi, situasi dan kondisi yang menimbulkan atau tidak menimbulkan halusinasi. Kriteria Evaluasi : Setelah ....x interaksi klien menyatakan perasaan dan  responnya saat mengalami halusinasi : marah, takut, sedih, senang, cemas, jengkel. Intervensi        : diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi dan beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya, diskusikan dengan klien apa yang dilakukan untuk mengatasi perasaan tersebut, diskusikan tentang dampak yang akan dialamnya bila klien menikmati halusinasinya.
3)        Tujuan khusus ketiga : Klien dapat mengontrol halusinasinya. Kriteria evaluasi : Setelah....x interaksi klien menyebutkan tindakan yang biasanya dilakukan untuk mengendalikan halusinasinya, setelah ....x interaksi klien menyebutkan cara baru mengontrol halusinasi, Setelah ....x interaksi klien dapat memilih dan memperagakan cara mengatasi halusinasi, Setelah ....x interaksi klien melaksanakan cara yang telah dipilih untuk mengendalikan Halusinasinya, Setelah ....x interaksi pertemuan klien mengikuti trapi aktivitas kelompok. Intervensi : identifikasi bersama kliencara atau tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi (tidur,marah,menyibukan diri,dll), diskusikan cara yang digunakan klien : jika cara yang digunakan adaptif berpujian, jika cara yang digunakan maladaptif diskusikan cara / kerugian cara tersebut, diskusikan cara baru untuk memutus/ mengontrol timbulnya halusinasi : katakan  pada diri sendiri bahwa ini tidak nyata, menemui orang lain untuk menceritakan halusinasinya. membuat dan melaksanakan jadwal kegiatan sehari-hari yang telah disusun, meminta keluarga/teman/perawat menyapa jika sedang berhalusinasi, bantu klien memilih cara yang sudah dianjurkan dan latih untuk mencobanya, beri kesempatan untuk melakukan cara yang dipilih dan dilatih, pantau pelaksanakan yang telah dipilih dan dilatih, bila berhasil beri pujian, anjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok, orientasi realita, stimulasi perspsi.
4)        Tujuan khusus keempat :  Klien dapat dukungan dari keluarga dan mengontrol halusinasinya. Kriteria Evaluasi           : Setelah....x pertemuan keluarga. Keluarga menyatakan setuju untuk mengikuti pertemuan dengan perawat, setelah ....x interaksi keluarga menyebutkan pengertian, tanda dan gejala, proses terjadinya halusinasi dan tindakan untuk mengendalikan halusinasi. Intervensi : Buat kontrak dengan keluarga untuk pertemuan ( waktu, tempat dan topik), diskusikan dengan keluarga ( pada saat pertemuan keluarga/kunjungan rumah) : pengertian halusinasi, tanda dan gejala halusinasi, proses terjasinya halusinasi, cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk memutus halusinasi, obat-obat halusinasi, cara merawat anggota keluarga yang halusinasi dirumah, beri informasi waktu kontrol ke rumah sakit dan bagaimana cara mencari bantuan jika halusinasi tidak dapat diatasi dirumah.
5)        Tujuan khusus kelima :            Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik. Kriteria Evaluasi : Setelah....x interaksi klien menyebutkan : manfaat minum obat, kerugian tidak minum obat, nama,warna, dosis, frekuensi terapi dan efek samping obat, setelah ....x interaksi klien mendemontrasikan pengguna obat dengan benar. setelah ....x interaksi klien menyebutkan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dokter. Intervensi       : Diskusikan dengan klien tentang manfaat dan kerugian tidak minum obat, nama, dosis,warna,cara,efek terapi, dan efek samping pengguna obat, pantau klien saat pengguna obat, beri pujian jika klien menggunakan obat dengan benar, diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan dokter, anjurkan klien untuk konsultasi kepada dokter/perawat jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan .
b.    Penatalaksanaan Medis
1)        Psikofarmaka
a)   Haloperidol (HP)
(1)   Dosis
Dewasa dengan gejala sedang : 0,5 – 2 mg, gejala berat : 3 – 5 mg/hari atau sesuai kebutuhan terapi.
(2)   Indikasi
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realitas dalam fungsi netral serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari.

(3)   Mekanisme kerja
Obat anti psikosis dalam memblokade dopamin pada reseptor paska sinaptik neuron di otak khususnya sistem limbik dan sistem ekstra piramidal.
(4)   Efek samping
Sedasi, gangguan otonomik (hypotensi, mulut kering, kesulitan miksi, dan defikasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama jantung).
(5)   Kontra indikasi
Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris, ketergantungan obat, penyakit susunan saraf pusat, gangguan kesadaran, hipersensitivitas terhadap obat ini.
b)   Clorpromazine (CPZ)
(1)   Dosis
Dewasa dengan psikosis akut : 10 mg atau 25 mg/hari.
(2)   Indikasi
Untuk sindrome psikosis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai norma sosial dan titik diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi mental : waham, halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali.
(3)   Mekanisme kerja
Memblokade dopamine pada reseptor pasca sinap diotak khususnya sistem ekstrapiramidal.
(4)   Efek samping
Sedasi, gangguan otonomik (hypotensi, mulut kering, hidung tersumbat, pusing, sakit kepala, mual, muntah, mata kabur, tekanan intra okuler meningkat, amenorchoe).
(5)   Kontra indikasi
Hypersensitivitas terhadap obat ini, penyakit hati, depresi susunan saraf pusat, ketergantungan obat, gangguan kesadaran, febris.
c)   Trihexyphenidyl (THP)
(1)   Dosis
Dewasa rentang dosisi harian umum : 5 – 15 mg/hari.
(2)   Indikasi
Gejala ekstrapiramidal (kecuali diskinesia tardif) berkaitan dengan obat-obat antipsikotik, semua jenis parkinsonisme.
(3)   Mekanisme kerja
Sinergis dengan kinidine, obat antidepresan trisiklik dan anti kolinergik lainnya.
(4)   Efek samping
Mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi, konstipasi, tachycardia, retensi urine.
(5)   Kontra indikasi
Hipersensitive terhadap obat, psikosis berat, hypertopi prostat dan obstruksi saluran cerna.
2)        Psikotherapi
Ada banyak jenis psikoterapi yang dapat diberikan untuk klien dengan gangguan jiwa, tapi untuk klien dengan gangguan orientasi realita terfokus pada perubahan sensori persepsi : halusinasi, diberikan :
a)      Terapi kelompok
(1)   Kelompok eksplorasi interpersonal
Mengembangkan kesadaran diri tentang gaya hubungan interpersonal melalui umpan balik dari anggota kelompok lain
(2)   Kelompok bimbingan inspirasi
Kelompok yang sangat mendukung dan memaksimalkan nilai diskusi didalam kelompok dan persahabatan
Terapi kelompok biasanya dilakukan seminggu sekali, terdiri atas 5 - 12 anggota (tergantung pada tipenya). Terapi aktivitas kelompok (TAK) untuk halusinasi, meliputi :
(1)   Mengenal halusinasi
(2)   Mengontrol halusinasi dengan menghardik
(3)   Mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan
(4)   Mencegah halusinasi dengan bercakap-cakap
(5)   Mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat
b)      Terapi keluarga
Setelah periode pemulangan, topik dalam terapi keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya
c)      Terapi individual
(1)   Terapi suportif
Untuk mengevaluasi situasi kehidupan pasien saat ini, selanjutnya membantu pasien melakukan perubahan realistik
(2)   Terapi interpersonal
Memfokuskan pada hubungan interpersonal pasien, sifat-sifat dan kelemahan serta meningkatkan hubungan tersebut
(3)   Terapi kognitif perilaku
Gabungan terapi kognitif dengan terapi perilaku, berdasar pada realitas dan menekankan hal yang terjadi disini dan saat ini (yang dipikirkan pasien saat ini, perilaku pasien saat ini)
(Tomb, 2002: hal.  248)
4.      Pelaksanaan Keperawatan
Pelaksanaan keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendy, 1995). Jenis tindakan pada pelaksanaan keperawatan ini terdiri dari tindakan mandiri (independent), saling ketergantungan atau kolaborasi (interdependent) dan tindakan rujukan atau ketergantungan (dependent).
Pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Pada situasi nyata sering pelaksanaan tindakan keperawatan jauh berbeda dengan rencana keperawatan. Hal ini terjadi karena perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam melaksanakan tindakan keperawatan, yang biasa adalah rencana tidak tertulis yaitu apa yang dipikirkan, dirasakan, maka itu yang dilakukan. Hal ini sangat membahayakan klien dan perawat jika berakibat fatal dan juga tidak memenuhi aspek legal (Kurniawati, 2004).
Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi dengan singkat apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan klien sesuai dengan kondisinya saat ini (here and now). Perawat juga menilai diri sendiri kemampuan interpersonal, intelektual, teknikal sesuai dengan tindakan yang akan dilaksanakan. Perlu penilaian kembali apakah aman bagi klien dan setelah semua tidak ada hambatan maka tindakan keperawatan boleh dilaksanakan. Pada saat akan dilaksanakan tindakan keperawatan. Perawat melakukan kontrak dengan klien yakni menjelaskan apa yang akan dikerjakan serta peran serta yang diharapkan dari klien. Adapun tahap-tahap interaksi perawat terhadap klien pada tahap pelaksanaan, terdiri dari : tahap pre interaksi, tahap orientasi, tahap kerja dan tahap terminasi.
5.      Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari  tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi terus menerus dilakukan pada respons klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan (Kurniawati, 2004)
Klien dan keluarga perlu dilibatkan dalam evaluasi agar dapat melihat perubahan dan berupaya mempertahankan dan memelihara. Dalam evaluasi sangat diperlukan reinforcement untuk menguatkan perubahan yang positif. Klien dan keluarga dimotivasi untuk melakukan self-reinforcement.
Stuart dan sundeen (1995) menyebutkan beberapa kondisi dan perilaku perawat yang diperlukan pada saat melakukan evaluasi dalam proses keperawatan sebagai berikut :
a.    Kondisi perawat : supervisi, analisis diri, peer review, partisipasi pasien dan  keluarga
b.    Perilaku perawat : membandingkan respon pasien dan hasil yang diharapkan, mereview proses keperawatan, memodifikasi proses keperawatan sesuai yang dibutuhkan, berpartisipasi dalam  peningkatan kualitas dari aktivitas yang dilakukan. (Nurjanah, 2005: hal 19).
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP, sebagai pola pikir (Keliat, 2005: hal 18).
S     : Respon subyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Dapat diukur dengan menanyakan : “bagaimana perasaan ibu setelah latihan nafas dalam?”
O    : Respon objektif klien terahdap tindakan keperawtan yang telah dilaksanakan. dapat diukur dengan mengobservasi perilaku kilien pada saat tindakan akan dilakukan, atau menanyakan kembali apa yang telah diajarkan.
A    : Analisa ulang atas data subyektif untuk menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data yng kontradiksi dengan masalah yang ada.
P     :    Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon klien. Hasil akhir yang diharapkan setelah dilakukan implementasi atau tindakan keperawatan pada klien dengan perubahan sensori persepsi : halusinasi penglihatan adalah klien mampu menjelaskan pengertian, tanda/gejala, waktu dan lamanya halusinasi, klien mampu mengontrol halusinasinya, keluarga dapat mengenal masalah dalam merawat klien di rumah.




TINJAUAN KASUS
BAB III


A.  Pengkajian
1.      Identitas klien
Klien Ny. R usia 25 tahun, sudah menikah, agama Islam, suku Betawi, pendidikan terakhir SMA, alamat rumah Kp. Siluman kelurahan Mangun Jaya Kabupaten Bekasi. Klien masuk kepanti sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 Cipayung Jakarta di ruang Kakaktua pada tanggal 22 Oktober 2006 dengan diagnosa medis skizofrenia kronik, sumber informasi klien yaitu diantar oleh adik klien.
2.      Alasan masuk
Klien mengatakan masuk ke panti dibawa oleh adiknya dan petugas trantib karena dirumah klien sering diejek dan dikatakan orang stress oleh tetangga, dan adiknya, lalu klien memutuskan pergi kerumah saudara, maka adik klien melaporkan ke petugas trantib dan kemudian datang kerumah saudara klien tempat klien tinggal untuk mengantarnya ke Panti.
3.      Faktor predisposisi
Klien tidak pernah mengalami gangguan jiwa dimasa lalu. Klien pernah mengalami aniaya fisik, klien mengatakan pernah dipukuli oleh kakak laki-laki yang keempat pada umur 20 tahun, dan klien marah-marah lalu membalas untuk memukul kakaknya. Klien dibawa ke panti sudah 3 tahun. Selama dipanti klien belum pernah pulang. Masalah keperawatan : Resiko  Perilaku kekerasan, koping keluarga inefektif.
Klien mengatakan ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa seperti dirinya yaitu kakak klien yang keempat, kakak klien suka menyendiri dan hanya dirawat dipanti saja, pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan klien mengatakan sering diejek oleh tetangga, dipukul oleh kakaknya dan sering dimarahi oleh suaminya karena suami klien yang ingin menikah lagi suami klien yang ingin menikah lagi. Masalah keperawatan : harga diri rendah kronis, kegagalan dalam membina rumah tangga.
4.      Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik tanggal 13 Juli 2009 diperoleh tanda-tanda vital TD : 110/70 mmHg, P : 20 x/mnt, N : 80x/mnt, S : 36.2oC, terdapat keluhan fisik yaitu klien mengatakan sering gatal-gatal pada kulitnya, dikaki terdapat koreng/ luka, tampak sering menggaruk-garuk. Masalah keperawatan : Defisit Perawatan Diri.
5.      Psikososial
a.       Genogram






Keterangan :
            :     Laki-laki                            :    Tinggal serumah                   : Meninggal      
            :     Perempuan                        :    Garis perkawinan
            :     Klien                                 :    Garis keturunan      
Klien mengatakan anak ke sepuluh dari 11 bersaudara, Klien tinggal bersama suami dan anaknya, pola komunikasi dalam keluarga klien mengatakan sering dimarahi oleh suaminya karena suaminya karena suaminya ingin menikah lagi. Ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa seperti klien, yaitu kakak klien yang keempat. Ayah dan ibu klien meninggal pada waktu klien berumur 20 tahun, klien diperalkukan sama dengan kakak dan adiknya. Masalah keperawatan koping keluarga inefektif.
b.      Konsep diri
Untuk konsep diri, pada gambaran diri klien mengatakan tidak suka dengan kulitnya yang hitam, karena dahulu klien memiliki kulit putih. Pada identias klien merasa senang sebagai perempuan karena bisa hamil dan memiliki anak. Pada peran, klien sebagai ibu mengasuh anaknya dan kadang suka membantu kakak dan keluarganya. Pada ideal diri klien mengatakan merasa gagal tidak mampu merawat anaknya dan tidak bisa menjadi ibu yang baik. Masalah keperawatan : Harga diri rendah.
c.       Hubungan sosial
Dalam hubungan sosial, orang yang paling berarti sewaktu masih dirumah adalah kakaknya yang kedelapan, karena klien sering curhat kepadanya, tetapi saat ini klien merasa jauh darinya. Peran serta dalam kegiatan masyarakat klien mengatakan kadang mengikuti pengajian dekat rumahnya, kadang juga klien suka menyendiri. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain klien malu dan kadang kesal karena diejek oleh tetangganya. Masalah keperawatan : Isolasi sosial, Harga diri rendah.
d.      Spiritual
Untuk spiritual. Pada nilai dan keyakinan, klien meyakini agama Islam dan meyakini adanya Allah SWT. Pada kegiatan ibadah, klien mengatakan sering mengikuti pengajian dipanti tetapi klien jarang shalat 5 waktu.
6.      Status mental
Untuk status mental. Klien mengatakan malas untuk gosok gigi dan gunting kuku, Penampilan klien tidak rapi, pakaian sesuai dengan kondisi namun agak kumal, gigi kuning dan terdapat sisa makanan di sela-sela gigi, kuku jari tangan panjang dan kotor, pada ujung jari tangan tampak kecoklatan, tidak memakai alas kaki dan kulit kaki agak kering, masalah keperawatan : defisit keperawatan diri.
Pada pembicaraan, klien bicara jelas, sesuai topik pembicaraan namun klien tidak mampu memulai pembicaraan, harus perawat terlebih dahulu yang memulai. Pembicaraan klien lambat, suara pelan. Masalah keperawatan : Harga diri rendah, Isolasi sosial.
Aktivitas motorik, klien mengatakan lemas, tampak lesu, pergerakan agak lambat dan kurang bersemangat, masalah keperawatan : isolasi sosial.
Pada alam perasaan, klien mengatakan sedih jika ingat pada anaknya,  pandangan kosong, kadang diam dan ingin sekali pulang tapi tidak ada keluarga yang  menjemputnya, masalah keperawatan : isolasi sosial.
Pada afek klien tumpul, klien hanya menjawab bila ditanya dan kadang harus ditanya dua kali baru akan timbul respon pada raut wajahnya, masalah keperawatan : isolasi sosial
Interaksi selama wawancara, Kontak mata kurang, kadang klien mengalihkan pandangan jika ada stimulus lain,  memandang ke depan lalu menunduk. masalah keperawatan : isolasi sosial.
Pada persepsi : terdapat halusinasi pendengaran, klien mengatakan sering mendengar suara yang menyuruhnya “Bangun…Bangun!!”, pada malam hari saat mau tidur selama kira-kira 15 menit, sebanyak 2 kali dan klien merasa terganggu karena ada suara-suara itu. Dan klien hanya diam saat mendengar suara-suara itu. Masalah keperawatan : gangguan sensori persepsi : halusinasi pendengaran
Pada proses pikir, pembicaraan klien teroganisir tiap kalimat, berbelit-belit tetapi sampai pada tujuan. Masalah keperawatan : Gangguan sensori persepsi : halusinasi pendengaran.
Pada isi pikir, klien normal, tidak ditemukan keyakinan akan sesuatu yang berlebihan.  Tidak ditemukan masalah keperawatan
Tingkat kesadaran : kesadaran klien penuh. Saat ditanya tanggal berapa dan hari apa klien tidak tahu karena klien tidak pernah melihat kalender, setelah dibantu oleh perawat akhirnya klien mampu menyebutkan tanggal dan hari sesuai urutan, klien mengetahui ini panti. Tidak ditemukan masalah keperawatan.
Memori : klien masih mengingat kejadian masa lalu saat klien dipukuli oleh kakaknya yang keempat. Masalah keperawatan : tidak ditemukan masalah keperawatan.
Tingkat konsentrasi : klien mudah beralih, klien mudah beralih ketika ada rangsangan lain, klien mengatakan umurnya 25 tahun, saat ditanya tanggal lahir, klien menjawab 10 April 1976 tetapi setelah dibantu oleh perawat, klien mampu ingat kembali. Masalah keperawatan : tidak ada masalah keperawatan.
Kemampuan penilaian terdapat gangguan ringan yakni klien mampu memilih besok akan mandi atau makan dulu, klien menjawab mandi dulu baru makan, masalah keperawatan gangguan ringan dalam penilaian.
Pada daya titik diri, klien mengatakan ini adalah panti jiwa, klien mengatakan mungkin ia gangguan jiwa (karena sering marah-marah jika diejek oleh tetangganya. Masalah keperawatan : harga diri rendah.
7.      Kebutuhan persiapan pulang
Pada kebutuhan persiapan pulang : Makan, BAB/BAK, mandi, berpakaian atau berhias dan pengunaan obat klien masih memerlukan bantuan minimal, istirahat tidur siang 1 – 2  jam, tidur malam kira-kira 6 – 7  jam. Pada pemeliharaan kesehatan klien membutuhkan perawatan lanjutan dan sistem pendukung. Kegiatan klien selama di rumah, kadang ikut menjaga kebersihan rumah dan klien mengatur keuangannya sendiri dan klien mempersiapkan makanan dan mencuci pakaian sendiri, masalah keperawatan : tidak ditemukan masalah keperawatan.
8.      Mekanisme koping
Pada mekanisme koping, klien bila ada masalah kadang cerita dengan kakaknya yang  kedelapan, tapi secara garis besar mekanismenya lebih ke arah maldaptif yaitu mencederai diri, klien mengatakan pernah dipukuli oleh kakak laki-laki yang keempat pada umur 20 tahun, dan klien marah-marah lalu membalas untuk memukul kakaknya. Masalah keperawatan : resiko perilaku kekerasan
9.      Masalah Psikososial dan Lingkungan
Masalah psikososial dan lingkungan : masalah dengan dukungan kelompok, klien mengatakan tidak pernah dijenguk oleh keluargamaupun teman-temannya. Masalah berhubungan  dengan lingkungan, klien mengatakan kadang mengikuti pengajian dekat rumahnya itupun jarang. Masalah dengan pendidikan, klien mengatakan sekolahnya lulus SMA, ingin melanjutkan kuliah tapi tidak terwujud karena masalah biaya. Masalah dengan pekerjaan, klien mengatakan dulu bekerja sebagai sales. Masalah dengan perumahan klien sudah mempunyai rumah sendiri, tetapi rumah itu diberikan oleh mertuanya,  Masalah dengan ekonomi, klien mengatakan kebutuhan sehari-harinya cukup untuk keluarganya. Masalah dengan pelayanan kesehatan, klien mengatakan jika sakit maka dia pergi ke puskesmas untuk berobat. Masalah lainnya, klien mengatakan ingin cepat  pulang jika ada anggota keluarga yang menjemput. Masalah dengan dukungan lingkungan, klien mengatakan semenjak ia dipanti tidak ada temannya yang menjenguk, masalah keperawatan : koping keluarga inefektif.
10.  Pengetahuan
Pengetahuan klien kurang tentang faktor presipitasi, koping, sistem pendukung penyakit fisik dan obat-obatan.  masalah keperawatan : koping keluarga dan individu inefektif.
11.  Aspek Medik
Aspek medik : diagnosa medik klien yaitu skizofenia kronik, klien mendapatkan terapi medik obat-obatan yaitu Haloperidol (HLP) 2 x 5 mg (pukul 07.00 dan 16.00 WIB). Fungsinya Obat anti psikosis dalam memblokade dopamin pada reseptor paska sinaptik neuron di otak khususnya sistem limbik dan sistem ekstra piramidal. Clorpromazine (CPZ) 2 x 2 mg (pukul 07.00 dan 16.00 WIB)  fungsinya Memblokade dopamine pada reseptor pasca sinap diotak khususnya sistem ekstrapiramidal, Trihexyphenidyl (THP) 2 x 2 mg (pukul 07.00 dan 16.00 WIB) fungsinya Sinergis dengan kinidine, obat antidepresan trisiklik dan anti kolinergik lainnya.
12.  Analisa Data
Tanggal/ Jam
Data Fokus
Masalah Keperawatan
13 Juli 2009
Pkl 10.00
DS: klien mengatakan sering mendengar suara yang menyuruhnya “Bangun…Bangun!!”, pada malam hari saat mau tidur selama kira-kira 15 menit, sebanyak 2 kali dan klien merasa terganggu karena ada suara-suara itu. Dan klien hanya diam saat mendengar suara-suara itu,  kadang juga klien suka menyendiri.
DO: Kontak mata kurang, kadang klien mengalihkan pandangan jika ada stimulus lain,  memandang ke depan lalu menunduk, Pembicaraan lambat, suara pelan.
Gangguan sensori persepsi: halusinasi pendengaran
13 Juli 2009
Pkl 10.00
DS:.Klien mengatakan kadang klien suka menyendiri, malu dan kadang kesal karena diejek oleh tetangganya, lemas, sedih jika ingat pada anaknya dan ingin sekali pulang tapi tidak ada keluarga yang  menjemputnya,
DO:Klien tidak mampu memulai pembicaraan, harus perawat terlebih dahulu yang memulai. Pembicaraan klien lambat, suara pelan,  kontak mata kurang, kadang klien mengalihkan pandangan jika ada stimulus lain,  memandang ke depan lalu menunduk, pandangan kosong, kadang diam
Isolasi sosial
13 Juli 2009
Pkl 10.00
DS: klien mengatakan tidak suka dengan kulitnya yang hitam, karena dahulu klien memiliki kulit putih, merasa gagal tidak mampu merawat anaknya dan tidak bisa menjadi ibu yang baik, ingin sekali pulang tapi tidak ada keluarga yang  menjemputnya, klien malu dan kadang kesal karena diejek oleh tetangganya, sewaktu lulus SMA, klien ingin melanjutkan kuliah tapi tidak terwujud karena masalah biaya.
DO: Pembicaraan klien lambat, suara pelan,  kontak mata kurang, kadang klien mengalihkan pandangan jika ada stimulus lain,  memandang ke depan lalu menunduk, pandangan kosong, kadang diam dan ingin sekali pulang tapi tidak ada keluarga yang  menjemputnya,
harga diri rendah kronik
13 Juli 2009
Pkl 10.00
DS: klien mengatakan sering dimarahi oleh suaminya karena suaminya karena suaminya ingin menikah lagi, klien dibawa ke panti sudah 3 tahun. Selama dipanti klien belum pernah pulang
DO: Selama perawatan di panti, tidak ada yang menjenguk klien
Koping keluarga inefektif
13 Juli 2009
Pkl 10.00
DS: klien mengatakan sering gatal-gatal pada kulitnya, malas untuk gosok gigi dan gunting kuku.
DO: Penampilan klien tidak rapi, pakaian sesuai dengan kondisi namun agak kumal, gigi kuning dan terdapat sisa makanan di sela-sela gigi, kuku jari tangan panjang dan kotor, pada ujung jari tangan tampak kecoklatan, tidak memakai alas kaki dan kulit kaki agak kering, dikaki terdapat koreng/ luka, tampak sering menggaruk-garuk.
Defisit perawatan diri
13 Juli 2009
Pkl 10.00
DS: klien mengatakan pernah dipukuli oleh kakak laki-laki yang keempat pada umur 20 tahun, dan klien marah-marah lalu membalas untuk memukul kakaknya.
DO: -
Resiko Perilaku Kekerasan
13 Juli 2009
Pkl 10.00
DS : klien mengatakan sering dimarahi oleh suaminya karena suami klien yang ingin menikah lagi
DO: -
Kegagalan dalam membina rumah tangga


13.  Pohon Masalah
Resiko Perilaku Kekerasan
 
 

Kegagalan dalam membina rumah tangga

 
 

Gangguan sensori persepsi : halusinasi pendengaran
 













B.     Diagnosa Keperawatan
1.      Gangguan   sensori persepsi : halusinasi pendengaran
2.      Isolasi sosial
3.      Harga diri rendah kronik
4.      Koping keluarga inefektif
5.      Defisit perawatan diri
6.      Resiko perilaku kekerasan
C.    Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi Keperawatan
1.      Gangguan sensori persepsi : Halusinasi ( lihat, dengar, penghidu, raba, kecap). Dengan tujuan umum : Klien dapat mengontrol halusinasi yang dialaminya.
Data Subyektif    : Klien mengatakan sering mendengar suara yang menyuruhnya “Bangun…Bangun!!”, pada malam hari saat mau tidur selama kira-kira 15 menit, sebanyak 2 kali dan klien merasa terganggu karena ada suara-suara itu. Dan klien hanya diam saat mendengar suara-suara itu,  kadang juga klien suka menyendiri.
Data Obyektif     : Kontak mata kurang, kadang klien mengalihkan pandangan jika ada stimulus lain,  memandang ke depan lalu menunduk, Pembicaraan lambat, suara pelan.
Tujuan umum       :       Klien bisa mengontrol halusinasinya dengan 4 cara yang diajarkan
SP 1yaitu  Klien dapat membina hubungan saling percaya, klien dapat mengenal halusinasinya, klien dapat mengontrol halusinasinya. Dengan kriteria evaluasi :   setelah 1 x 15 menit pertemuan ekspresi wajah bersahabat, menunjukan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, menyebutkan nama, menjawab salam, mau duduk berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi, mengenal jenis halusinasi klien, isi, waktu, frekuensi dan situasi yang menimbulkan halusinasi, Klien dapat mengungkapkan perasaan terhadap halusinasi, Klien dapat menyebutkan tindakan yang biasanya dilakukan untuk mengendalikan halusinasinya, Klien dapat menyebutkan cara baru mengendalikan halusinasinya, klien dapat memilih cara mengatasi halusinasi seperti yang telah didiskusikan dengan klien, Klien dapat melaksanakan cara yang telah dipilih untuk   mengendalikan halusinasinya, klien dapat mengikuti terapi aktivitas kelompok.
Rencana tindakan untuk SP 1, yaitu dengan : Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal, perkenalkan diri dengan sopan, tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien, jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan menepati janji, tunjukan sikap empati dan menerima klien apa adanya, beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien, observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya ; bicara dan tertawa tanpa stimulus, memandang ke kiri / kanan / depan, seolah-olah ada teman bicara, bantu klien mengenal halusinasinya ; jika menemukan klien yang sedang halusinasi, tanyakan apakah ada suara yang didengar, Jika klien menjawab ada, lanjutkan : apa yang dikatakan, katakan bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu, namun perawat sendiri tidak mendengar (dengan nada bersahabat tanpa menuduh atau menghakimi), katakan bahwa klien lain juga ada seperti klien, katakan bahwa perawat akan membantu klien, diskusikan dengan klien ; Situasi yang menimbulkan atau tidak menimbulkan halusinasi, waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang, sore dan malam atau jika sendiri), diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi (marah, takut, sedih, senang), beri kesempatan mengungkapkan perasaan, identifikasi bersama klien, cara tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi (tidur, marah, menyibukkan diri, dll), diskusikan manfaat dan cara yang biasa dilakukan klien bila terjadi halusinasi, diskusikan cara baru untuk memutus atau mengontrol timbulnya halusinasinya : Memutus halusinasi : bila halusinasi pendengaran, tutup telinga, lalu katakan (teriak seperti menghardik) : ”pergi!! pergi !! saya tidak mau dengar, jangan ganggu saya, kamu tidak ada!”, menemui orang lain (perawat/teman/anggota keluarga) untuk bercakap-cakap atau mengatakan halusinasi yang didengar, membuat jadwal kegiatan sehari-hari dan melaksanakannya agar halusinasi tidak sempat muncul, meminum obat, bantu klien memilih dan melatih cara memutus halusinasi secara bertahap, beri kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih. Evaluasi hasilnya dan beri pujian jika berhasil, Anjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok, orientasi realita, stimulasi persepsi, bantu klien memilih dan melatih cara memutus halusinasi secara bertahap, beri kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih. evaluasi hasilnya dan beri pujian jika berhasil, anjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok, orientasi realita, stimulasi persepsi.
Pelaksanaan yang dilakukan tanggal 13 Juli 2009 Pukul 10.00 – 10.30 WIB SP 1 yaitu : Membina hubungan saling percaya dengan klien, dengan menyapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal, memperkenalkan diri dengan sopan, menanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien, menjelaskan tujuan pertemuan, jujur dan menepati janji, menunjukan sikap empati dan menerima klien apa adanya, memberi perhatian kepada klien dan memperhatikan kebutuhan dasar klien. Klien dapat mengenal halusinasi, dengan : mengadakan kontak sering dan singkat secara bertahap, mengobservasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya, bantu klien mengenal halusinasinya : mendiskusikan dengan klien situasi yang menimbulkan atau tidak menimbulkan halusinasinya, waktu, frekuensi terjadinya halusinasi, mendiskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi (marah, takut, sedih, senang), beri kesempatan mengungkapkan perasaan. Klien dapat mengontrol halusinasi, dengan mengidentifikasi bersama klien, cara tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi, mendiskusikan manfaat dan cara yang biasa dilakukan klien bila terjadi halusinasi, mendiskusikan cara baru untuk memutuskan atau mengontrol timbulnya halusinasi , membantu klien memilih dan melatih cara memutus halusinasi secara bertahap. memberikan kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih, evaluasi hasilnya dan berikan pujian atas usaha klien.
Evaluasi yang dilakukan tanggal 13 Juli 2009. Dengan data subjektif : klien mengatakan : ” Selamat pagi Bruder, nama saya R senang dipanggil R, perasaan saya baik-baik saja, saya masuk ke panti dibawa oleh adik saya dan petugas trantib karena dirumah saya  sering diejek dan dikatakan orang stress oleh tetangga, dan adik saya, lalu saya memutuskan pergi kerumah saudara, maka adik saya melaporkan ke petugas trantib dan kemudian datang kerumah saudara tempat saya tinggal untuk mengantarnya ke Panti. saya sering mendengar suara yang menyuruhnya “Bangun…Bangun!!”, pada malam hari saat mau tidur selama kira-kira 15 menit, sebanyak 2 kali dan saya merasa terganggu karena ada suara-suara itu. Terus saya hanya diam saat mendengar suara-suara itu . data objektif : Klien menjawab salam, berjabat tangan, menyebutkan nama dan nama panggilan kesukaan, mau berinteraksi dengan perawat,  saat pembicaraan kadang diam, ketika perawat tanya, kontak mata kurang, memandang ke depan lalu menunduk, bicara lambat dan suara pelan, pakaian yang digunakan sesuai tapi agak kumal, klien mau mendemonstrasikan cara mengontrol halusinasi dengan menutup telinga (cara pertama : menghardik). Analisa : untuk  Diagnosa 1 SP 1 tercapai (klien mampu mengetahui jenis, isi, waktu, frekuensi halusinasinya serta situasi yang menimbulkan halusinasi. Klien mampu mengontrol halusinasi dengan menghardik halusinasi. Perencanaan : Pertahankan SP1, lanjutkan SP 2 (Melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara kedua : bercakap-cakap dengan orang lain). Rencana tindak lanjut : ajarkan klien cara mengontrol halusinasi dengan cara kedua yaitu dengan bercakap-cakap dengan orang lain dan memasukan dalam jadwal kegiatan. ”R, tadikan ketika sudah ngobrol tentang suara yang sering R dengar, setelah bruder pulang, coba R  rasakan apakah R masih mendengar suara itu, besok bruder mau dengar cerita itu dari R. Bagaimana kalau besok kita bertemu lagi R? Kita ngrobrol tentang cara mengatasi suara-suara yang R dengar cara kedua. Kira-kira besok jam berapa? Bagaimana kalau jam 10.00 – 10.15 WIB? Jadi selama 15 menit. Dimana kita akan ngobrol besok? bagaimana kalau ditaman ini lagi?”
SP 2, yaitu klien dapat mengontrol halusinasinya dengan cara kedua : bercakap-cakap dengan orang lain. dengan kriteria evaluasi :             setelah 1 x 15 menit pertemuan ekspresi wajah bersahabat, menunjukan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, menyebutkan nama, menjawab salam, mau duduk berdampingan dengan perawat, klien dapat mendemonstrasikan cara pertama untuk mengontrol halusinasi, klien dapat memilih cara mengatasi halusinasi dengan cara pertama dan kedua, Klien dapat memasukan dalam jadwal harian.
Rencana tindakan untuk SP 2 yaitu : identifikasi bersama klien, cara tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi (tidur, marah, menyibukkan diri, dll), diskusikan manfaat dan cara yang biasa dilakukan klien bila terjadi halusinasi, diskusikan cara baru untuk memutuskan atau mengontrol timbulnya halusinasi : tutup telinga, lalu katakan (teriak seperti menghardik) : ”Pergi!! Pergi !! saya tidak mau dengar kamu, jangan ganggu saya, kamu tidak ada!” diulangi terus sampai suara itu hilang, menemui orang lain untuk mengobrol, bantu klien memilih dan melatih cara memutus halusinasi secara bertahap, berikan kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih, evaluasi hasilnya dan berikan pujian atas usaha klien, anjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok.
Pelaksanaan yang dilakukan tanggal 14 Juli 2009 Pukul 10.00 – 10.15 WIB SP 2 yaitu mengidentifikasi bersama klien, cara tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi, mendiskusikan manfaat dan cara yang biasa dilakukan klien bila terjadi halusinasi, mendiskusikan cara baru untuk memutuskan atau mengontrol timbulnya halusinasi, membantu klien memilih dan melatih cara memutus halusinasi secara bertahap, memberikan kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih, evaluasi hasilnya dan berikan pujian atas usaha klien dan menganjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok.
Evaluasi yang dilakukan tanggal 14 Juli 2009 dengan data subjektif : Klien mengatakan : ”Selamat pagi bruder, perasaan saya baik-baik saja, sudah mandi, semalam suara itu ada lagi, bilang bangun...bangun selama  + 15 menit, yang saya lakukan adalah tidur kemudian suara itu hilang, saya lebih suka cara yang pertama, sambil tutup telinga, bilang ”pergi!! Pergi !! saya tidak mau dengar, kamu suara palsu!”. Data obyektif     : Klien mampu menyebutkan 2 dari 4 cara mengontrol halusinasi dengan bantuan minimal perawat, klien mampu memperagakannya (diulang sebanyak 3 kali), klien mau memilih 1 dari 4 cara memutus halusinasi, klien mampu membaca dan : Al Fatihah, surat-surat pendek (An-Naas, AL-Ikhlas)Analisa : Diagnosa 1 SP 2 tercapai  (klien masih mengingat cara mengontrol dengan menghardik halusinasi dan memperagakannya kembali, klien mau diajarkan latihan mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain dan mau mempraktekannya, klien mau untuk memasukan kedalam jadwal kegiatan harian. Perencanaan : Pertahankan SP 1 dan 2, lanjutkan SP 3  (melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara ketiga : Melaksanakan aktivitas terjadwal), Rencana tindak lanjut :mengevaluasi klien dalam mengontrol halusinasi dengan menghardik dan bercakap-cakap dengan orang lain dan menganjurkan klien memasukan dalam jadwa kegiatan harian. ”R, tadi sudah sangat bagus bisa menyebutkan dan memperagakan cara memutus suara-suara yang R dengar, setelah ini, R gunakan yah cara-cara yang tadi bruder ajarkan, nanti saat bertemu lagi, bruder akan tanya, apa R menggunakan cara tersebut bila suara itu datang, ya R ? baiklah!, Nanti kita akan berbicara mengenai cara untuk mengontrol halusinasi dengan cara yang ke tiga, yaitu melaksanakan aktivitas terjadwal, ya R?, Jam berapa nanti R? Bagaimana kalau jam 12.00 sampai 12.15 , jadi selama 15 menit, Dimana kita akan ngobrol R? bagaimana kalau dibangku depan dekat ditaman?” baiklah R”.
SP 3 yaitu klien dapat mengontrol halusinasinya dengan cara ketiga : melaksanakan aktivitas terjadwal. Dengan kriteria evaluasi : setelah 1 x 15 menit pertemuan ekspresi wajah bersahabat, menunjukan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, menyebutkan nama, menjawab salam, mau duduk berdampingan dengan perawat, klien dapat mendemonstrasikan cara pertama untuk mengontrol halusinasi, klien dapat memilih cara mengatasi halusinasi dengan cara pertama dan kedua, Klien dapat , memasukan dalam jadwal harian.
Rencana tindakan untuk SP 3 yaitu : identifikasi bersama klien, cara tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi (tidur, marah, menyibukkan diri, dll), diskusikan manfaat dan cara yang biasa dilakukan klien bila terjadi halusinasi, diskusikan cara baru untuk memutuskan atau mengontrol timbulnya halusinasi : tutup telinga, lalu katakan (teriak seperti menghardik) : ”Pergi!! Pergi !! Saya tidak mau dengar kamu, jangan ganggu saya, kamu suara palsu!” Diulangi terus sampai suara itu hilang, menemui orang lain untuk mengobrol, melakukan aktivitas terjadwal, bantu klien memilih dan melatih cara memutus halusinasi secara bertahap, berikan kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih, evaluasi hasilnya dan berikan pujian atas usaha klien, anjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok.
Pelaksanaan yang dilakukan pada tanggal 14 Juli 2009 Pukul 12.00 – 12.15  WIB SP 2 yaitu dengan : mengidentifikasi bersama klien, cara tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi, mendiskusikan manfaat dan cara yang biasa dilakukan klien bila terjadi halusinasi, mendiskusikan cara baru untuk memutuskan atau mengontrol timbulnya halusinasi, membantu klien memilih dan melatih cara memutus halusinasi secara bertahap, memberikan kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih, evaluasi hasilnya dan berikan pujian atas usaha klien, menganjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok.
Evaluasi yang dilakukan tanggal 14 Juli 2009. Dengan data subjektif : Klien mengatakan : ”Selamat siang bruder, sudah makan, kalau suara itu datang saya hanya diam saja, saya lebih suka cara yang pertama, sambil tutup telinga, bilang ”pergi!! Pergi !! saya tidak mau dengar, kamu suara palsu!” . data objektif : Klien mampu menyebutkan 3 dari 4 cara mengontrol halusinasi dengan bantuan minimal perawat, klien mampu memperagakannya (diulang sebanyak 3 kali), klien mau memilih 1 dari 4 cara memutus halusinasi. Analisa : Diagnosa 1 SP 3 tercapai  (klien mampu mengontrol halusinasi dengan 2 cara yaitu menghardik dan bercakap-cakap dengan orang lain, klien mampu mengendalikan halusinasi dengan berdoa, klien mampu memasukan kedalam jadwal kegiatan harian. Perencanaan : Pertahankan SP 1, 2 dan 3, lanjutkan SP 4. Klien : melatih klien menggunakan obat secara teratur, mengevaluasi kemampuan klien dalam mengontrol halusinasi dengan menghardik, bercakap-cakap, melakukan kegiatan harian, memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur, menganjurkan klien memasukan kedalam jadwal kegiatan harian. Rencana tindak lanjut : ”R, tadi sudah sangat bagus bisa menyebutkan dan memperagakan cara memutus suara-suara yang R dengar, setelah ini, R gunakan yah cara-cara yang tadi bruder ajarkan, supaya suara-suara itu hilang, nanti R bisa gunakan cara-cara yang saya ajarkan jika suara-suara itu muncul lagi. Nanti kita akan berbicara mengenai cara untuk mengontrol halusinasi dengan cara yang ke tiga, yaitu melaksanakan aktivitas terjadwal, ya R?. Jam berapa nanti R? Bagaimana kalau jam 12.00 sampai 12.15 , jadi selama 15 menit. Dimana kita akan ngobrol R? bagaimana kalau dibangku depan dekat ditaman?” baiklah R”.
SP 4 yaitu  Klien dapat menggunakan obat secara teratur. Dengan kriteria evaluasi Setelah 1 x 15 menit pertemuan ekspresi wajah bersahabat, menunjukan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, menyebutkan nama, menjawab salam, mau duduk berdampingan dengan perawat, klien mengerti dan mau melakukan minum obat yang benar dan memasukan dalam jadwal harian.
Rencana tindakan untuk SP 4 yaitu : diskusi dengan klien tentang dosis, frekuensi dan manfaat obat :haloperidol, warna merah jambu, 1 tablet (5 mg), pemberiannya 2 kali sehari tiap sesudah makan jam 07.00 dan 16.00 gunanya agar pikiran tenang.  triheksifenidil, warna putih, 1 tablet (2 mg), pemberiannya 2 kali sehari tiap sesudah makan jam 07.00 dan 16.00 gunanya untuk rileks dan tidak kaku, anjurkan klien minta sendiri obat pada perawat dan merasakan manfaatnya, anjurkan klien bicara dengan dokter tentang manfaat dan efek samping obat yang dirasakan, diskusikan akibat berhenti obat-obat tanpa konsultasi, bantu klien menggunakan obat dengan prinsip 5 (lima) benar-benar nama klien, nama obat, dosis obat, wktu pemberian obat dan cara pemberian obat : Haloperidol, warna merah jambu, 1 tablet (5 mg), pemberiannya 2 kali sehari tiap sesudah makan jam 07.00 dan 16.00 diminum dengan air putih, lalu, Triheksifenidil, warna putih, 1 tablet (2 mg), pemberiannya 2 kali sehari tiap sesudah makan jam 07.00 dan 16.00  diminum dengan air putih, beri reinforcement positif.
Pelaksanaan yang dilakukan tanggal 15 Juli 2009, pukul 10.30 – 10.45 WIB. Yaitu dengan mendiskusi dengan klien tentang dosis, frekuensi dan manfaat obat : haloperidol, warna merah jambu, 1 tablet (5 mg), pemberiannya 2 kali sehari tiap sesudah makan jam 07.00 dan 16.00 gunanya agar pikiran tenang, triheksifenidil, warna putih, 1 tablet (2 mg), pemberiannya 2 kali sehari tiap sesudah makan jam 07.00 dan 16.00 gunanya untuk rileks dan tidak kaku. menganjurkan klien minta sendiri obat pada perawat dan merasakan manfaatnya, menganjurkan klien bicara dengan dokter tentang manfaat dan efek samping obat yang dirasakan, mendiskusikan akibat berhenti obat-obat tanpa konsultasi, membantu klien menggunakan obat dengan prinsip 5 (lima) benar-benar nama klien, nama obat, dosis obat, wktu pemberian obat dan cara pemberian obat : haloperidol, warna merah jambu, 1 tablet (5 mg), pemberiannya 2 kali sehari tiap sesudah makan jam 07.00 dan 16.00 diminum dengan air putih, lalu, triheksifenidil, warna putih, 1 tablet (2 mg), pemberiannya 2 kali sehari tiap sesudah makan jam 07.00 dan 16.00  diminum dengan air putih.
Evaluasi yang dilakukan tanggal 15 Juli 2009. Dengan data subjektif : Klien mengatakan : ” selamat pagi bruder, perasaan saya baik, suara – suara itu masih muncul tadi malam lalu saya melakukan cara yang pertama, tutup telinga lalu bilang: pergi!!pergi!!saya tidak mau dengar, kamu suara palsu! lalu suara itu hilang, obat yang saya minum 2, warnanya biru: Triheksifenidil, warnanya merah jambu: haloperidol, minumnya sesudah makan pagi jam 07.00 dan sore jam 16.00, yang biru biar rileks, yang merah jambu biar pikiran tenang, kalau putus minum obat suara-suara itu bisa muncul lagi.”. Objektif : klein mampu menyebutkan warna obat, kapan waktu pemberian, berapa macam obat yang diminum, manfaat dari obat tersebut, mampu menyebutkan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi, dapat menyebutkan 3 dari 5 prinsip benar minum obat tanpa bantuan perawat dan menyebutkan 2 prinsipnya lagi dengan bantuan minimal perawat. Analisa : Diagnosa 1 SP 4  (klien mampu mengontrol halusinasi dengan 3 cara yaitu menghardik, bercakap-cakap dengan orang lain dan melakukan kegiatan harian, klien mau mendengarkan pendidikan kesehatan tentang cara minum obat dengan teratur dan mau melakukannya, klien mampu memasukan kedalam jadwal kegiatan harian. Perencanaan : Pertahankan SP 1, 2, 3 dan 4 perencanaan dihentikan. Rencana tindakan lanjutan : ”R, tadikan R  bagus sekali sudah menyebutkan manfaat minum obat, nah nanti setelah kita berpisah, coba R minta sendiri obat pada perawat, ya R? Bagus! hari ini bruder terakhir disini, selama bruder Choerudin tidak ada, R lakukan ya cara yang telah bruder ajarkan untuk mengusir suara-suara tersebut, ya R? Wah! Bagus sekali!”
2.      Isolasi sosial
Data subyektif       :    Klien mengatakan kadang klien suka menyendiri, malu dan kadang kesal karena diejek oleh tetangganya, lemas, sedih jika ingat pada anaknya dan ingin sekali pulang tapi tidak ada keluarga yang  menjemputnya,
Data obyektif         :    Klien tidak mampu memulai pembicaraan, harus perawat terlebih dahulu yang memulai. Pembicaraan klien lambat, suara pelan,  kontak mata kurang, kadang klien mengalihkan pandangan jika ada stimulus lain,  memandang ke depan lalu menunduk, pandangan kosong, kadang diam
Tujuan umum         :    Klien tidak berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi halusinasi
TUK 1 yaitu  Klien dapat membina hubungan saling percaya. Dengan k riteria hasil  : Ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, menyebutkan nama, menjawab salam, mau duduk berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi.
Rencana tindakan     untuk TUK 1 yaitu Bina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan prinsip komunikasi terapeutik dengan sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal, perkenalkan diri dengan sopan, tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien, jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan menepati janji, tunjukan sikap empati dan menerima klien apa adanya. Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien.
TUK 2 yaitu  klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri. Dengan kriteria hasil : setelah 1 x 15 menit pertemuan klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri, yang berasal dari : diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
Rencana tindakan  untuk TUK 2 yaitu : kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya,  beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab menarik diri atau tidak mudah bergaul, berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasannya.
TUK 3 yaitu klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain. Dengan kriteria hasil : setelah 1 x 15 menit pertemeuan klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain, misalnya banyak teman, tidak sendiri, bisa diskusi, bisa saling tolong menolong dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain : tidak punya teman, bila ada kesulitan tidak ada yang menolong.
Rencana tindakan  untuk TUK 3 yaitu : Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan orang lain, beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain, diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain, beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang manfaat berhubungan dengan orang lain, kaji pengetahuan klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain : beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang manfaat berhubungan dengan orang lain.
TUK 4 yaitu  klien dapat melaksanakan hubungan sosial secara bertahap. Dengan kriteria hasil   : setelah 2x15 menit pertemuan klien dapat mengdesmonstrasikan hubungan sosial secara bertahap antara klien-perawat, klien-perawat-perawat lain, klien-perawat-keluarga, klien-perawat-masyarakat.
Rencana tindakan  untuk TUK 4 yaitu : kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain, dorong dan bantu klien untuk berhubungan dengan orang lain melalui tahap klien-perawat, klien-perawat-perawat lain, klien-perawat-keluarga, klien-perawat-masyarakat, beri reinforcement terhadap keberhasilan yang telah dicapai
bantu klien mengevaluasi manfaat berhubungan, diskusikan jadwal kegiaan harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu, motivasi klien untuk mengikuti kegiatan
beri reinforcement positif atas kegiatan yang telah diikuti klien.
TUK 5 yaitu klien dapat mengungkapkan perasannya setelah berhubungan dengan orang lain. Dengan kriteria hasil : setelah 1 x 10 menit pertemuan klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain untuk diri sendiri, orang lain.
Rencana tindakan  untuk TUK 5 yaitu : dorong klien mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan orang lain, diskusikan dengan klien tentang perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain, beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasannya setelah berhubungan dengan orang lain.
TUK 6 yaitu klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga. Dengan kriteria hasil             : Setelah 1 x 20 menit pertemuan kelaurga dapat menjelaskan perasaan, cara merawat klien menarik diri, mendemonstrasikan cara perawatan klien menarik diri, berpartisipasi dalam merawat klien menarik diri.
Rencana tindakan  untuk TUK 6 yaitu : bina hubungan saling percaya dengan keluarga: salam, perkenalkan diri, jelaskan tujuan, buat kontrak, eksplorasi perasaan klien
diskusikan dengan anggota keluarga tentang perilaku menarik diri, penyebab perilaku menarik diri, akibat yang akan terjadi jika perilaku menairk diri tidak ditanggapi, dorong anggota keluarga untuk memberi dukungan kepada klien untuk berkomunikasi dengan orang lain, anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk klien minimal satu kali seminggu, beri reinforcement positif atas hal-hal yang telah dicapai oleh keluarga
3.        Harga diri rendah kronik
Data Subjektif  :     Klien mengatakan tidak suka dengan kulitnya yang hitam, karena dahulu klien memiliki kulit putih, merasa gagal tidak mampu merawat anaknya dan tidak bisa menjadi ibu yang baik, ingin sekali pulang tapi tidak ada keluarga yang  menjemputnya, klien malu dan kadang kesal karena diejek oleh tetangganya, sewaktu lulus SMA, klien ingin melanjutkan kuliah tapi tidak terwujud karena masalah biaya.
Data Objektif   :      Pembicaraan klien lambat, suara pelan,  kontak mata kurang, kadang klien mengalihkan pandangan jika ada stimulus lain,  memandang ke depan lalu menunduk, pandangan kosong, kadang diam dan ingin sekali pulang tapi tidak ada keluarga yang  menjemputnya,
Tujuan umum     :    klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal
TUK 1 yaitu klien dapat membina hubungan saling percaya. Dengan kriteria hasil : ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, menyebutkan nama, menjawab salam, mau duduk berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi.
Rencana tindakan  untuk TUK 1 yaitu : sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal, perkenalkan diri dengan sopan, tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien, jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan menepati janji, tunjukan sikap empati dan menerima klien apa adanya, beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien
TUK 2 yaitu klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki. Dengan kriteria hasil : Setelah 1 x 10 menit pertemuan klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki (aspek positif keluarga, aspek positif lingkungan yang dimiliki klien ).
Rencana tindakan  untuk TUK 2 yaitu : diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien, setiap bertemu klien hindarkan dari memberi penilaian negatif, utamakan memberi pujian yang realistik
TUK 3 yaitu klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan. Dengan kriteria hasil           :                         Setelah 1 x 15 menit pertemuan klien mampu menilai kemampuan yang dapat digunakan.
Rencana tindakan  untuk TUK 3 yaitu : diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan selama sakit, diskusikan kemampaun yang dapat dilanjutkan penggunaannya.
TUK 4 yaitu Klien dapat (menetapkan) merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimilki. Dengan kriteria hasil : Setelah 1 x 15 menit pertemuan klien mampu membuat  rencana kegiatan harian.
Rencana tindakan  untuk TUK 4 yaitu : rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan : kegiatan mandiri, dengan bantuan sebagian, membutuhkan bantuan total, tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien, beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan.
TUK 5 yaitu Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan   kemampuannya. Dengan kriteria hasil : setelah 1 x 15 menit pertemuan klien melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya.
Rencana tindakan  untuk TUK 5 yaitu :  beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan, beri pujian atas keberhasilan klien, diskusikan kemungkinan pelaksanaan dirumah.
TUK 6 yaitu klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada. Dengan kriteria hasil          :                         Setelah 2 x 10 menit pertemuan klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada di keluarga.
Rencana tindakan  untuk TUK 6 yaitu : beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien dengna harga diri rendah, bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat, bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.
4.   Koping keluarga inefektif
Data subyektif         : Klien mengatakan sering dimarahi oleh suaminya karena suaminya karena suaminya ingin menikah lagi, klien dibawa ke panti sudah 3 tahun. Selama dipanti klien belum pernah pulang
Data obyektif           :  Selama perawatan di panti, tidak ada yang menjenguk klien
Tujuan umum           :  Keluarga dapat merawat klien yang mengalami gangguan jiwa sehingga penatalaksanaan regiment therapeutik efektif
TUK 1 yaitu klien dapat mengenal dengan masalah yang dapat   menyebabkan kambuh. Dengan kriteria hasil : Setelah 2 x 15 menit pertemuan keluarga dapat mengidentifikasikan masalah yang mencetuskan klien kambuh, yang dipengaruhi oleh  sikap keluarga, masyarakat dan klien sendiri.
Rencana tindakan  untuk TUK 1 yaitu : bina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan prinsip komunikasi terapeutik ; sapa keluarga dengan ramah, jelaskan tujuan perawatan dari peranan selama bersama klien, dorong keluarga untuk mengungkapkan masalah, kaji persepsi keluarga tentang klien yang maladaptif, diskusikan dengan keluarga beberapa masalah yang menjadi penyebab klien kambuh, tidak menghargai klien : mengisolasikan klien, tidak memperhatikan klien, klien tidak diberi kegiatan, diskusikan dengan keluarga tentang sikap yang harus dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan individu terhadap perilaku maladaptif dari klien, bantu keluarga mengenal sikap dan perilakunya yang dapat memicu dan menyebabkan klien kambuh.
TUK 2 yaitu klien dapat mengambil keputusan dalam perawatan pada klien. Dengan kriteria hasil : setelah 1 x 15 menit pertemuan kelaurga dapat mengambil keputusan dalam melakukan perawatan pada klien.
Rencana tindakan  untuk TUK 2 yaitu : diskusikan bersama keluarga bahwa keluarga merupakan penanggung jawab utama dalam merawat klien, jelaskan pada keluarga bahwa keluarga merupakan pengambilan keputusan dalam keperawatan keluarga, jelaskan kepada keluarga akibat masalah tidak ditangani dengan cepat, motivasi keluarga untuk memutuskan hal yang menguntungkan klien.
TUK 3 yaitu Keluarga dapat merawat klien dirumah. Dengan kriteria hasil :  setelah 1 x 15 menit pertemuan keluarga dapat menyebutkan cara merawat klien di rumah.
Rencana tindakan  untuk TUK 3 yaitu :       Diskusikan dengan keluarga cara merawat klien di rumah dan demonstrasikan, seperti memenuhi kebutuhan sehari-hari, diskusikan dengan keluarga tentang pentingnya minum obat secara teratur.
TUK 4 yaitu keluarga dapat mengidentifikasi support sistem yang ada dalam  keluarga. Dengan kriteria hasil : setelah 1 x 15 menit pertemuan kelaurga dapat menjelaskan supoort sistem yang ada dalam kelaurga, seperti sikap keluarga yang positif, do’a.
Rencana tindakan  untuk TUK 4 yaitu : identifikasi dengan kelaurga tentang support sistem yang ada dalam kelaurga, diskusikan bersama keluarga pentingnya partisipasi dalam merawat klien, diskusikan bersama keluarga pentingnya keluarga dalam menghargai nilai positif klien, anjurkan pada keluarga untuk (kelemahan atau kekurangan yang dimiliki klien tidak ditampilkan) : identifikasi bersama kelaurga tentang kondisi dan lingkungan keluarga yang dapat mendukung kesehatan klien, ciptakan suasana keluarga yang tenang dan nyaman bagi klien.
TUK 5 yaitu keluarga dapat memodifikasi lingkungan yang terapeutik dalam merawat klien setelah 1 x 15 menit pertemuan. Dengan kriteria hasil :          setelah 1 x 10 menit pertemuan keluarga dapat menyediakan lingkungan yang terapeutik  bagi perawatan klien.
Rencana tindakan  untuk TUK 5 yaitu : beri reinforcement kepada keluarga tentang fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat dan dapat digunakan keluarga sebelum klien di bawa ke Panti jika mengalami kambuh
5.   Defisit perawatan diri
Data subyektif       : klien mengatakan sering gatal-gatal pada kulitnya, malas untuk gosok gigi dan gunting kuku.
Data obyektif        : Penampilan klien tidak rapi, pakaian sesuai dengan kondisi namun agak kumal, gigi kuning dan terdapat sisa makanan di sela-sela gigi, kuku jari tangan panjang dan kotor, pada ujung jari tangan tampak kecoklatan, tidak memakai alas kaki dan kulit kaki agak kering, dikaki terdapat koreng/ luka, tampak sering menggaruk-garuk.
Tujuan umum         : Klien dapat meningkatkan minat atau motivasinya dan mempertahankan kebersihan diri
TUK 1 yaitu klien dapat mengenal tentang pentingnya kebersihan diri. Dengan kriteria hasil : setelah 2 x 15 menit pertemuan klien dapat menyebutkan kebersihan diri, antara lain : tanda-tanda bersih, badan tidak bau, rambut rapi, bersih dan tidak bau, gigi bersih, baju rapi dan tidak bau, mampu menyebutkan kembali kebersihan   yaitu mencegah penyakit, memberi perasaan segar dan nyaman, mencegah kerusakan gigi dan menjaga kebersihan mulut, dapat menjelaskan cara merawat diri, antara lain, : mandi 2 kali sehari dengan sabun, menggosok gigi minimal 2 kali sehari setelah makan atau akan tidur, mencuci rambut 2 – 3 kali seminggu dan memotong kuku bila panjang, mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.
Rencana tindakan  untuk TUK 1 yaitu :  diskusikan bersama klien pentingnya kebersihan diri dengan cara menjelaskan pengertian tentang arti bersih dan tanda-tanda bersih, dorong klien untuk menyebutkan 3 dari 5 tanda kebersihan diri, diskusikan fungsi kebersihan diri dengan menggali pengetahuan klien terhadap hal yang berhubungan dengan kebersihan diri, bantu klien mengungkapkan arti kebersihan diri dan tujuan memelihara kebersihan diri, beri reinforcement positif setelah klien mampu mengungkapkan arti kebersihan diri, ingatkan klien untuk memelihara kebersihan diri seperti : mandi 2 kali pagi dan sore, sikat gigi minimal dua kali sehari (sesudah makan dan akan tidur, keramas dan menyisir rambut, gunting kuku bila panjang.
TUK 2 yaitu Klien dapat melakukan kebersihan diri dengan bantuan perawat. Dengan kriteria hasil : setelah 2 x 15 menit pertemuan klien berusaha untuk memelihara kebersihan diri yaitu mandi pakai sabun dan disiram dengan air sampai bersih, mengganti pakaian bersih sehari sekali dan merapikan penampilan.
Rencana tindakan  untuk TUK 2 yaitu : motivasi klien untuk mandi : ingatkan cara, evaluasi hasilnya dan beri umpan balik, bimbing klien dengan bantuan minimal, jika hasilnya kurang kaji hambatan yang ada, bimbing klien untuk mandi, beri kesempatan klien untuk mendemonstrasikan cara memelihara kebersihan diri yang benar : ajarkan dan anjurkan untuk mandi 2 kali sehari dengan menggunakan sabun, anjurkan klien untuk meningkatkan cara mandi yang benar, anjurkan klien untuk mengganti baju setiap hari : anjurkan klien untuk mempertahankan dan meningkatkan penampilan diri setiap hari, dorong klien untuk mencuci pakaiannya sendiri, demonstrasikan cara mencuci pakaian yang benar dengan sabun dan dibilas, kaji keinginan klien untuk memotong kuku dan merapikan rambut : beri kesempatan pada klien untuk melakukan sendiri, ingatkan potong kuku dan  keramas, kolaborasi dengan perawat ruangan untuk pengelolaan fasilitas perawatan kebersihan diri, seperti mandi dan kebersihan kamar mandi, bekerjasama dengan keluarga untuk mengadakan fasilitas kebersihan diri seperti odol, sikat gigi, shampo, pakaian ganti, handuk dan sandal
TUK 3 yaitu klien dapat melakukan kebersihan perawatan diri secara mandiri. Dengan kriteria hasil : Setelah satu minggu klien dapat melakukan perawatan kebersihan diri secara rutin dan teratur tanpa anjuran : mandi pagi dan sore, ganti baju setiap hari, penampilan bersih dan rapi.
Rencana tindakan  untuk TUK 3 yaitu : memonitor klien dalam melaksanakan kebersihan diri secara teratur, ingatkan untuk mencuci rambut, menyisir, gosok gigi, ganti baju dan pakai sandal.
TUK 4 yaitu klien dapat mempertahankan kebersihan diri secara mandiri. Dengan kriteria hasil : klien selalu tampak bersih dan rapi.
Rencana tindakan  untuk TUK 4 yaitu : beri reinforcement positif jika klien berhasil melakukan kebersihan diri.
TUK 5 yaitu Klien mendapat dukungan keluarga dalam meningkatkan kebersihan diri. Dengan kriteria hasil : Setelah 2 x 15 menit pertemuan keluarga selalu mengingat hal-hal yang berhubungan dengan kebersihan diri, keluarga menyiapkan sarana untuk membantu klien dalam menjaga kebersihan diri, keluarga membantu dan membimbing klien dalam menjaga kebersihan diri.
Rencana tindakan  untuk TUK 5 yaitu : jelaskan pada keluarga tentang penyebab kurang minatnya klien menjaga kebersihan diri, diskusikan bersama keluarga tentang tindakan yang telah dilakukan klien selama di rumah sakit dalam menjaga kebersihan dan kemajuan yang telah dialami diri, anjurkan keluarga untuk memutuskan memberi stimulasi terhadap kemajuan yang telah dialami di RS, jelaskan pada keluarga tentang manfaat sarana yang lengkap dalam menjaga kebersihan diri klien, anjurkan klien untuk menyiapkan sarana dalam menjaga kebersihan diri, diskusikan bersama keluarga cara membantu klien dalam menjaga kebersihan diri. diskusian dengan keluarga mengenai hal-hal yang dilakukan, misalnya : mengingatkan klien pada waktu mandi, sikat gigi, keramas, ganti baju, membantu klien apabila mengalami hambatan, memberi pujian atas keberhasilan klien
6.   Resiko perilaku kekerasan
Data subyektif       : Klien mengatakan pernah dipukuli oleh kakak laki-laki yang keempat pada umur 20 tahun, dan klien marah-marah lalu membalas untuk memukul kakaknya.
Data obyektif        :  -
Tujuan umum         :  Klien dapat mengontol perilaku kekerasan
TUK 1 yaitu klien dapat membina hubungan saling percaya. Dengan kriteria hasil : setelah 1x15 menit pertemuan klien menunjukan tanda-tanda percaya kepada perawat : wajah cerah, tersenyum, mau berkenalan, ada kontak mata, bersedia menceritakan perasaan.
Rencana tindakan  untuk TUK 1 yaitu : beri salam setiap berinteraksi, perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan perawat berinteraksi, tanyakan dan panggil nama kesukaan klien, tunjukan sikap empati, jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi, tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien, buat kontrak interaksi yang jelas, dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan perasaan.
TUK 2 yaitu klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan yang dilakukan. Dengan kriteria hasil : setelah 1x15 menit pertemuan klien menceritakan penyebab perilaku kekerasan yang dilakukan : menceritakan penyebab perasaan jengkel / kesal baik dari diri sendiri maupun lingkungan.
Rencana tindakan  untuk TUK 2 yaitu : motivasi klien untuk menceritakan penyebab rasa kesal atau jengkelnya, dengarkan tanpa menyela atau memberi penilaian setiap ungkapan perasaan klien.
TUK 3 yaitu klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan. Dengan kriteria hasil : setelah 1x15 menit pertemuan klien menceritakan tanda-tanda saat terjadiperilaku kekerasan : tanda fisik, mata merah, tangan mengepal, ekspresi tegang, tanda emosional : perasaan mara, jengkel, bicara kasar, tanda sosial ; bermusuhan yang dialamisaat terjadi perilaku kekerasan.
Rencana tindakan  untuk TUK 3 yaitu : motivasi klien menceritakan kondisi fisik saat perilaku kekerasan, motiasi klien menceritakan kondisi emosinya saat terjadi perilaku kekerasan, motivasi klien menceritakan kondisi hubungan dengan orang lain saat terjadi perilaku kekerasan.
TUK 4 yaitu klien dapat mengidentifikasi jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya. Dengan kriteria hasil   : setelah 1x15 menit pertemuan klien menjelaskan : jenis-jenis ekspresi kemarahan yang selama ini telah dilakukannya, perasaannya saat melakukan kekerasan, efektivitas cara yang dipakai dalam menyelesaikan masalah.
Rencana tindakan  untuk TUK 4 yaitu : motivasi klien menceritakan jenis-jenis tindak kekerasan yang selama ini pernah dilakukanny, motiasi klien menceritakan perasaan klien setelah tindak kekerasan tersebut terjadi, diskusikan apakah dengan tindak kekerasan yang dilakukannya masalah yang dialami teratasi.
TUK 5 yaitu klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan. Dengan kriteria hasil : setelah 1x15 menit pertemuan klien menjelaskan akibat tindak kekerasan yang dilakukannya : diri sendiri ; luka, dijauhi teman, orang lain / keluarga ; luka, tersinggung, ketakutan, lingkungan ; barang atau benda rusak, dll.
Rencana tindakan  untuk TUK 5  yaitu : diskusikan dengan klien akibat negatif (kerugian) cara yang dilakukan pada diri sendiri, orang lain / keluarga dan lingkungan.
TUK 6 yaitu Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam mengungkapkan kemarahan. Dengan kriteria hasil   : Setelah 1x15 menit pertemuan klien : klien dapat menjelaskan cara-cara sehat mengungkapkan marah.
Rencana tindakan  untuk TUK 6 yaitu : diskusikasikan dengan klien apakah klien mau mempelajari cara baru mengungkapkan marah yang sehat, jelaskan sebagai alternatif pilihan untuk mengungkapkan marah selain perilaku kekerasan yang diketahui klien, jelaskan cara-cara sehat untuk mengungkapkan marah : cara fisik ; napas dalam, pukul bantal atau kasur, olahraga. verbaal ; mengungkapkan bahwa dirinya sedang kesal kepada orang lain. sosial ; latihan asertif dengan orang lain. spiritual ; sembahyang ; dzikir, meditasi dsb sesuai dengan agamanya masing-masing.
TUK 7 yaitu klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan. Dengan kriteria hasil : setelah 1x15 menit pertemuan klien memperagakan cara mengontrol perilaku kekerasan ; fisik ; tarik napas dalam, memukul bantal/kasur. Verbal ; mengungkapkan perasaan kesal atau jengkel pada orang lain tanpa menyakiti. Spiritual ; dzikir/ doa, meditasi sesuai agamanya.
Rencana tindakan  untuk TUK 7 yaitu : diskusikan cara yang mungkin dipilih dan anjurkan klien memilih cara yang mungkin untuk mengungkapkan kemarahan, latih klien memperagakan cara yang dipilih ; peragakan cara melaksanakan cara yang dipilih, jelaskan manfaat cara tersebut, anjurkan klien menirukan peragaan yang sudah dilakukan, beri penguatan pada klien, perbaiki cara yang masih belum sempurna, anjurkan klien menggunakan cara yang sudah dilatih saat marah atau jengkel.
TUK 8 yaitu klien dapat dukungan keluarga untuk mengontrol perilaku kekerasan. Dengan kriteria hasil : setelah 1x15 menit pertemuan keluarga menjelaskan cara merawat klien dengan perilaku kekerasan mengungkapkan rasa puas dalam merawat klien.
Rencana tindakan  untuk TUK 8 yaitu : diskusikan pentingnya peran serta keluarga sebagai pendukung klien untuk mengatasi perilaku kekerasan, diskusikan potensi keluarga untuk membantu klien mengatasi perilaku kekerasan, jelaskan pengertian, penyebab, akibat dan cara merawat klien perilaku kekerasan yang dapat dilaksanakan oleh keluarga, peragakan cara merawat klien (menangani perilaku kekerasan), beri kesempatan keluarga untuk memperagakan ulang, memberi pujian kepada keluarga setelah peragaan, tanyakan perasaan keluarga setelah mencoba cara yang dilatihkan
TUK 9  yaitu klien menggunakan obat sesuai program yang telah ditetapkan. Dengan kriteria hasil : setelah 1x15 menit pertemuan klien menjelaskan manfaat minum obat, kerugian tidak minum obat, nama obat, bentuk dan warna obat, dosis yang diberikan kepadanya, waktu pemakaian, cara pemakaian, efek yang dirasakan, setelah 1x15 menit pertemuan klien menggunakan obat sesuai program.
Rencana tindakan  untuk TUK 9 yaitu : jelaskan manfaat menggunakan obat secara teratur dan kerugian jika tidak menggunakan obat, jelaskan kepada klien jenis obat (nama, warna dan bentuk obat), dosis yang tepat untuk klien, waktu pemakaian, cara pemakaian, efek yang akan dirasakan klien, anjurkan klien minta dan menggunakan obat tepat waktu, lapor ke perawat atau dokter jika mengalami efek yang tidak biasa, beri pujian terhadap kedsiplinan klien terhadap penggunaan obat.



BAB IV
PEMBAHASAN

Pada bab ini, penulis akan membahas mengenai kesenjangan yang terjadi antara teori dan kasus yang penulis dapatkan dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien Ny. R  dengan perubahan sensori persepsi : halusinasi pendengaran di ruang Kakaktua Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 Cipayung Jakarta, selama tiga hari mulai dari tanggal 13 Juli 2009  sampai dengan 15 Juli 2009  melalui asuhan keperawatan mulai dari pengkajian diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan, pelaksanaan keperawatan dan evaluasi.
A.  Pengkajian
Pada teori dari halusinasi pendengaran secara spesifik tidak diketahui penyebabnya namun diperkirakan predisposisi terjadinya halusinasi seperti faktor biologis, psikologis, sosial budaya,dan stressor pencetusnya adalah stress lingkungan, biologis, pemicu masalah sumber-sumber koping dan mekanisme koping.
Faktor predisposisi pada kasus faktor perkembangan terlambat tidak ditemukan, karena selama klien dirumah klien diperlakukan sama seperti kakak dan adiknya dan klien lulusan SMA dan tidak ada keinginan untuk melanjutkan kuliah. Pada komunikasi keluarga, tidak ada kehangatan, komunikasi dengan emosi berlebihan dan komunikasi tertutup karena klien sering dimarahi oleh suaminya yang ingin menikah lagi yang tidak sesuai dengan kasus yaitu komunikasi peran ganda, tidak ada komunikasi dan orang tua yang membandingkan anak-anaknya, karena klien mengatakan orang tuanya tidak mebeda-bedakan dengan kakak dan adik klien. Faktor sosial budaya pada kasus terjadi isolasi sosial karena pada klien tidak ditemukan isolasi sosial pada usia lanjut, cacat, sakit kronis, tuntutanlingkungan yang lebih tinggi karena klien tidak diajarkan tentang budaya-budaya yang menyimpang. Faktor psikologis pada kasus ditemukan adanya harga diri rendah karena klien mengatakan tidak suka dan  malu  dengan  kulitnya yang  hitam,  karena  dahulu  klien  mempunyai  kulit putih. Faktor biologi, tidak diketahui secara pasti adanya atrofi otak, pembesaran ventrikel, perubahan besar dan bentuk sel korteks dan limbik karena tidak adanya pemeriksaan tes diagnostik seperti CT scan, MRI, Pemindaian PET, RCBF dan  BEAM.  Faktor genetik, pada kasus belum diketahui secara pasti yang menyebabkan halusinasi karena pada kasus tidak dilakukan pemeriksaan DNA yang dapat menunjukan adanya kelainan kromosom namun diagnosa medis klien adalah skizofrenia kronik. Selain faktor predisposisi ada faktor presipitasi. stressor sosial budaya karena klien mengatakan dirumah sering diejek dan dikatakan stress oleh tetangganya dan suami klien ingin menikah lagi, faktor biokimia, belum diketahui secara pasti karena tidak ada pemeriksaan dopamin, norepinefrin dan zat halusinogenik. Faktor psikologik pada kasus yaitu intensitas kecemasan yang tinggi karena klien ditinggal suaminya klien merasa gagal sebagai ibu karena tidak bisa merawat anaknya dengan baik.
Manifestasi klinis (perilaku) yang ada pada kasus yaitu menarik diri karena klien mengatakan kadang suka menyendiri, klien malu dan kadang kesal karena diejek oleh tetangganya, dan perilaku lain yang ada pada teori tapi tidak ada pada kasus  yaitu berbicara dan tertawa sendiri karena selama penulis berinteraksi dengan klien tidak terjadi (asuhan keperawatan yang penulis lakukan tidak 24 jam atau tidak komprehensif) dan menurut petugas panti obat diberikan secara teratur (pagi dan sore), berhenti berbicara di tengah-tengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu karena pada saat melakukan interaksi dengan klien, halusinasi tidak ada (klien mengatakan halusinasi datang pada malam hari), konsentrasi rendah. Klien berada pada halusinasi fase 3 karena pada saat halusinasi klien muncul, klien tidak melakukan perlawanan dan hanya berdiam saja.
Mekanisme koping yang ada pada klien yaitu menarik diri karena dari hasil pengkajian klien bila ada masalah, klien kadang berdiam diri atau menyendiri. Dan yang tidak ada pada kasus yaitu regresi dan projeksi karena perilaku klien tidak menunjukan adanya kemunduran perilaku seperti anak-anak dan perilaku menyalahkan orang lain.
Sumber koping yang dilakukan pada klien sewaktu dirumah jika klien mempunyai masalah klien bisa menceritakannya kepada kakaknya yang kedelapan tetapi selama klien dipanti tidak ada anggota keluarga yang pernah datang membesuk termasuk  kakak klien yang kedelapan sehingga klien merasa  jauh darinya dan akhirnya klien kadang berdiam atau menyendiri.
Pada penatalaksanaan medis, tes diagnostik seluruhnya tidak diperiksakan pada klien yaitu CT Scan, pemindaian PET, MRI, RCBF, BEAF, ASI dan Uji psikologis karena klien berada dipanti sosial dibawah dinas sosial yang merupakan Panti untuk menampung penderita gangguan psikotik yang telantar dari hasil penertiban Tim Ketentraman dan Ketertiban Pemerintah Daerah DKI Jakarta saat melakukan razia di jalan-jalan Jakarta bukan merupakan sebuah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan jiwa. Pada penatalaksanaan  psikofarmaka, dinas sosial bekerjasama lintas sektor dengan Rumah Sakit Duren Sawit untuk memberikan pelayanan kesehatan jiwa pada pasien yang berada di Panti sehingga bisa ditegakan diagnosa medis dan diberikan terapi sesuai diagnosa yang ditegakan sehingga klien Ny, R diagnosa medisnya skizofrenia kronik sehingga mendapatkan terapi sesuai teori yaitu CPZ (clorpromazine) 2 x 2 mg, Haloperidol  2 x 5 mg dan Trihexyphenidyl (THP) 2 x 2 mg.
Pada pohon masalah yang ada pada teori, hanya ada 3 masalah keperawatan yaitu  gangguan sensori persepsi : halusinasi pendengaran sebagai masalah utama atau core problem,  isolasi sosial sebagai penyebab dan resiko perilaku kekerasan sebagai akibat.  Adapun masalah harga diri rendah kronik bukan tidak sesuai dengan teori tetapi karena diadalam teori hanya dibahas 3 masalah yang merupakan core problem, penyebab dan akibat. Adapun masalah sekunder yang tidak terdapat pada teori yaitu koping keluarga inefektif karena keluarga tidak pernah menjenguk klien, klien mengatakan pernah dipukuli oleh kakak laki-laki yang keempat pada umur 20 tahun, dan klien marah-marah lalu membalas untuk memukul kakaknya dan sering dimarahi oleh suaminya karena suami klien yang ingin menikah lagi, defisit perawatan diri, karena penampilan klien tidak rapi, pakaian sesuai dengan kondisi namun agak kumal, gigi kuning dan terdapat sisa makanan di sela-sela gigi, kuku jari tangan panjang dan kotor, pada ujung jari tangan tampak kecoklatan, tidak memakai alas kaki dan kulit kaki agak kering, dikaki terdapat koreng/ luka, tampak sering menggaruk-garuk.
Faktor pendukung yaitu adanya informasi tentang klien dari petugas panti dan klien yang cukup kooperatif. Faktor penghambatnya yaitu kurangnya penulis mendalami pengkajian klien dengan halusinasi pendengaran sehingga kurang mendapatkan data yang spesifik tentang halusinasi pendengaran, tidak ada keluarga klien ataupun keluarga yang bisa dihubungi sehingga sulit untuk memvalidasikan data yang telah ada, data yang didapatkan dari catatan medis klien kurang lengkap karena klien dirawat di panti sosial bukan rumah sakit jiwa sehingga jumlah tenaga perawatnya pun minim. Maka diharapkan penulis bisa lebih mendalami materi tentang halusinasi pendengaran.

B.  Diagnosa
Diagnosa Keperawatan ditetapkan berdasarkan  pohon masalah, yang merupakan diagnosa prioritas pada asuhan keperawatan jiwa sesuai teori adalah masalah keperawatan yang menjadi core problem atau masalah utama. Setelah melalui tahap pengkajian   selanjutnya yaitu tahap diagnosa keperawatan. Penulis menemukan 6 diagnosa keperawatan, 3 diagnosa keperawatan yang sesuai dengan teori yaitu Gangguan sensori persepsi  : halusinasi pendengaran, Isolasi sosial dan resiko perilaku kekerasan. Yang menjadi diagnosa prioritas adalah gangguan sensori persepsi : halusinasi pendengaran yang merupakan core problem dan aktual (here and now) karena ditemukan data klien mengatakan sering mendengar suara yang menyuruhnya “Bangun…Bangun!!”, pada malam hari saat mau tidur selama kira-kira 15 menit, sebanyak 2 kali dan klien merasa terganggu karena ada suara-suara itu. Dan klien hanya diam saat mendengar suara-suara itu. Adapun diagnosa keperawatan yang tidak sesuai dengan teori yaitu harga diri rendah, penulis angkat karena klien mengatakan tidak suka dengan kulitnya yang hitam, karena dahulu klien memiliki kulit putih, koping keluarga inefektif karena klien  dibawa kepanti sudah 3 tahun, selama di panti belum pernah pulang dan tidak pernah dijenguk oleh keluarganya dan yang terakhir Defisit  perawatan diri karena penampilan klien tidak rapi, pakaian sesuai dengan kondisi namun agak kumal, gigi kuning dan terdapat sisa makanan di sela-sela gigi, kuku jari tangan panjang dan kotor, pada ujung jari tangan tampak kecoklatan, tidak memakai alas kaki dan kulit kaki agak kering, dikaki terdapat koreng/ luka, tampak sering menggaruk-garuk.
Faktor pendukungnya yakni tanda dan gejala yang ada pada klien mendukung untuk ditegakkannya diagnosa, sendangkan faktor penghambatnya yakni kurang terlatihnya penulis dalam mengelompokkan tanda dan gejala untuk dispesifikkan ke tiap diagnosa. Maka diharapkan penulis bisa lebih teliti dalam mengelompokan tanda dan gejala.
C.  Perencanaan
Pada tahap perencanaan, penulis membuat perencanaan untuk tiap-tiap diagnosa keperawatan pada kasus sudah sesuai dengan teori yaitu tujuan umum, tujuan khusus dan yang tidak sesuai dengan teori yaitu kriteria evaluasi, karena pada teori tidak tercantum jumlah pertemuan dan waktu sedangkan pada kasus penulis cantumkan jumlah pertemuan dan waktu sesuai kondisi klien. Adapun rencana keperawatan untuk diagnosa prioritas gangguan   sensori persepsi : halusinasi pendengaran, TUM : klien bisa mengontrol halusinasinya, terdiri dari TUK 1 : Klien akan dapat membina hubungan saling percaya, TUK 2 :Klien dapat mengenal halusinasinya, TUK 3 : Klien dapat mengontrol halusinasinya, TUK 4 :  Klien dapat dukungan dari keluarga dan mengontrol halusinasinya, TUK 5 :       Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik. Juga dibuat rencana strategi pelaksanaan sesuai teori yaitu SP klien 1, 2, 3, 4 dan SP keluarga 1, 2 dan 3.
Faktor pendukung dalam membuat rencana keperawatan karena sudah ada pedoman yang baku sebagai referensi membuat rencan keperawatan. Faktor penghambat yang penulis temui adalah dalam pedoman perencanaan keperawatan untuk kriteria evaluasi tidak ada jumlah pertemuan dan waktu yang pasti, untuk menentukan jumlah pertemuan dan waktu penulis hanya melihat dari kondisi klien walaupun penulis merasa masih sangat kurang pengalaman dalam merawat klien dengan gangguan sensori persepsi : halusinasi pendengaran.
D.  Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan penulis sudah melakukan rencana yang sudah dibuat untuk diagnosa prioritas gangguan sensori persepsi : halusinasi pendengaran yaitu dengan menggunakan strategi pelaksanaan (SP), yaitu SP 1 : membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara-cara mengontrol halusinasi, mengajarkan mengontrol halusinasi dengan cara pertama : menghardik halusinasi, SP 2 : melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara kedua ; bercakap-cakap dengan orang lain, SP 3 : melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara ketiga ; melaksanakan aktivitas terjadwal, SP 4 : melatih pasien menggunakan obat secara teratur.
Tetapi ada tiga perencanaan yang tidak dapat penulis lakukan yaitu SP 1 keluarga : pendidikan kesehatan tentang pengertian halusinasi, jenis halusinasi yang dialami pasien, tanda dan gejala halusinasi dan cara merawat pasien halusinasi, SP 2 keluarga : melatih keluarga praktek merawat pasien langsung dihadapan pasien, SP 3 : membuat perencanaan pulang bersama keluarga. karena pada saat penulis dinas di panti laras tidak ada keluarga yang menjenguk. Untuk diagnosa selanjutnya, isolasi sosial, Harga diri rendah, Koping keluarga inefektif, Defisit perawatan diri dan Resiko perilaku kekerasan, seluruh rencana tindakan pada lima diagnosa di atas belum dapat penulis lakukan karena keterbatasan waktu.
Faktor pendukung penulis dalam melakukan pelaksanaan keperawatan yaitu klien kooperatif dan mau untuk melaksanakan perencanaan yang sudah direncanakan. Faktor penghambat yang penulis temui adalah tidak adanya anggota keluarga yang menjenguk atau yang bisa dihubungi untuk melakukan SP keluarga serta keterbatasannya waktu penulis melakukan asuhan keperawtan sehingga perencanaan diagnosa lain tidak dapat dilaksanakan.
E.  Evaluasi
Pada tahap evaluasi, semua perencanaan strategi pelaksanaan pada diagnosa gangguan sensori persepsi : halusinasi pendengaran sudah tercapai yaitu SP 1, 2, 3 dan 4 yang menggunakan metode atau sistem “SOAP” dalam mengevaluasi aktifitas dari proses keperawatan dan hasil kualitas pelayanan tindakan keperawatan.
Pada diagnosa prioritas : gangguan sensori persepsi  : halusinasi SP 1,2,3 dan 4 teratasi, ditandai dengan klien sudah membina hubungan saling percaya dengan penulis, klien dapat mengenal halusinasinya, mempraktekkan dan menyebutkan cara memutus halusinasi dengan empat cara yaitu dengan menghardik, bercakap-cakap dengan orang lain, melaksanakan aktivitas terjadwal dan klien sudah menyebutkan warna obat, waktu pemberian, manfaat dan efek bila putus obat tanpa konsultasi, serta untuk lima diagnosa selanjutnya juga belum teratasi karena hari efektif penulis dinas di Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 Jakarta Timur hanya tiga hari sehingga penulis hanya dapat melaksanakan tindakan untuk diagnosa prioritas saja.
Faktor pendukung pada tahap evaluasi yakni adanya kriteria evaluasi sehingga dapat digunakan untuk acuan dalam mengevaluasi tindakan keperawatan. Penulis tidak menemukan faktor penghambat pada tahap ini.
 

BAB V
PENUTUP

Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan selama tiga hari pada klien Ny. R dengan gangguan  sensori persepsi : halusinasi pendengaran di Ruang Kakaktua Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 Cipayung Jakarta, maka penulis akan menarik kesimpulan dan saran.
A.  Kesimpulan
Pada Ny. R dengan gangguan sensori persepsi : halusinasi pendengaran faktor predisposisinya yaitu adanya gangguan psikologis dimana adanya harga diri rendah karena klien mengatakan tidak suka dan  malu  dengan  kulitnya yang  hitam,  karena  dahulu  klien  mempunyai  kulit putih. Pada faktor komunikasi dalam keluarga, tidak ada kehangatan, komunikasi dengan emosi berlebihan dan komunikasi tertutup karena klien sering dimarahi oleh suaminya yang ingin menikah lagi.  Dari faktor prepitasi faktor psikologis pada kasus ditemukan adanya harga diri rendah, manifestasi klinis (perilaku) yang ada pada kasus yaitu menarik diri karena klien mengatakan kadang suka menyendiri, klien malu dan kadang kesal karena diejek oleh tetangganya. Mekanisme koping yang ada pada klien yaitu menarik diri karena dari hasil pengkajian klien bila ada masalah, klien kadang berdiam diri atau menyendiri. Sumber koping yang dilakukan pada klien sewaktu dirumah jika klien mempunyai masalah klien bisa menceritakannya kepada kakaknya yang kedelapan tetapi selama klien  dipanti  tidak  ada  anggota  keluarga   yang   pernah    datangmembesuk termasuk  kakak klien yang kedelapan sehingga klien merasa  jauh darinya dan akhirnya klien kadang berdiam atau menyendiri.Pada penatalaksanaan medis, tes diagnostik seluruhnya tidak diperiksakan pada klien yaitu CT Scan, pemindaian PET, MRI, RCBF, BEAF, ASI dan Uji psikologis. Pada penatalaksanaan  psikofarmaka, diberikan terapi sesuai diagnosa skizofrenia kronik sehingga mendapatkan terapi sesuai teori yaitu Clorpromazine (CPZ) 2 x 2 mg, Haloperidol (HLP)  2 x 5 mg dan Trihexyphenidyl (THP) 2 x 2 mg. Pada klien terjadi halusinasi tahap 3 karena pada saat halusinasi klien muncul, klien tidak melakukan perlawanan dan hanya berdiam saja.Pada pohon masalah yang ada pada teori, hanya ada 3 masalah keperawatan yaitu  gangguan sensori persepsi : halusinasi pendengaran sebagai masalah utama atau core problem,  isolasi sosial sebagai penyebab dan resiko perilaku kekerasan sebagai akibat.  Adapun masalah harga diri rendah kronik bukan tidak sesuai dengan teori tetapi karena didalam teori hanya dibahas 3 masalah yang merupakan core problem, penyebab dan akibat. Adapun masalah sekunder yang tidak terdapat pada teori yaitu koping keluarga inefektif dan defisit perawatan diri.
Diagnosa Keperawatan ditetapkan berdasarkan  pohon masalah, Penulis menemukan 6 diagnosa keperawatan, 3 diagnosa keperawatan yang sesuai dengan teori yaitu Gangguan sensori persepsi  : halusinasi pendengaran, Isolasi sosial dan resiko perilaku kekerasan. Adapun diagnosa keperawatan yang tidak sesuai dengan teori yaitu harga diri rendah, koping keluarga inefektif dan defisit  perawatan diri.
Pada tahap perencanaan, penulis membuat perencanaan untuk tiap-tiap diagnosa keperawatan pada kasus sudah sesuai dengan teori yaitu tujuan umum, tujuan khusus dan yang tidak sesuai dengan teori yaitu kriteria evaluasi. Adapun rencana keperawatan untuk diagnosa prioritas gangguan   sensori persepsi : halusinasi pendengaran, TUM : klien bisa mengontrol halusinasinya, terdiri dari TUK 1 : Klien akan dapat membina hubungan saling percaya, TUK 2 :Klien dapat mengenal halusinasinya, TUK 3 : Klien dapat mengontrol halusinasinya, TUK 4 :  Klien dapat dukungan dari keluarga dan mengontrol halusinasinya, TUK 5 : Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik. Juga dibuat rencana strategi pelaksanaan sesuai teori yaitu SP klien 1, 2, 3, 4 dan SP keluarga 1, 2 dan 3.
Pada tahap pelaksanaan penulis sudah melakukan rencana yang sudah dibuat untuk diagnosa prioritas gangguan sensori persepsi : halusinasi pendengaran yaitu dengan menggunakan strategi pelaksanaan (SP), yaitu SP 1 : membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara-cara mengontrol halusinasi, mengajarkan mengontrol halusinasi dengan cara pertama : menghardik halusinasi, SP 2 : melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara kedua ; bercakap-cakap dengan orang lain, SP 3 : melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara ketiga ; melaksanakan aktivitas terjadwal, SP 4 : melatih pasien menggunakan obat secara teratur.
Pada tahap evaluasi, Pada diagnosa prioritas : gangguan sensori persepsi  : halusinasi SP 1,2,3 dan 4 teratasi, untuk lima diagnosa selanjutnya belum teratasi karena hari efektif penulis dinas di Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 Jakarta Timur hanya tiga hari sehingga penulis hanya dapat melaksanakan tindakan untuk diagnosa prioritas saja.


B. Saran
   Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis memberi saran :
1.      Diharapkan penulis lebih intensif mempelajari literatur asuhan keperawatan jiwa dengan perubahan sensori persepsi : halusinasi pendengaran agar tercipta suatu asuhan keperawatan yang komprehensif.
2.      Diharapkan tenaga kesehatan di Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 Cipayung Jakarta ditambah, agar dapat memberikan asuhan keperawatan jiwa yang maksimal dan dapat mengcover seluruh warga binaan sosial sesuai dengan masalah kejiawaannya masing-masing.
3.      Diharapkan petugas Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 Cipayung Jakarta, dalam merawat klien dengan perubahan sensori persepsi : halusinasi pendengaran agar tetap memperhatikan kesignifikan perubahan kondisi klien, semakin membaik atau semakin mengarah ke perilaku mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan, menghidupkan kembali TAK untuk mengontrol halusinasinya, berusaha meningkatkan partisipasi keluarga dalam menjalankan terapi kejiwaaan klien sehingga TUK 4 pada diagnosa prioritas perubahan sensori persepsi : halusinasi pendengaranpun dapat terealisasikan dengan baik, serta petugas panti, agar melanjutkan rencana tindakan yang belum teratasi untuk tiap-tiap diagnosa.


 DAFTAR PUSTAKA

Astaqauliyah. (2006). Referat Gangguan Keperibadian Depresif. Diambil Pada Tanggal 17 Juli 2009 dari http://astaqauliyah.com/2006/02/20/referat-gangguan-keperibadian-depresif

Budi, Anna Keliat. (2005). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC

Doenges, Marilynn E. alih bahasa : Laili M. (2006). Rencana Asuhan Keperawatan Psikiatrik. Jakarta: EGC
Harnawati. (2008). Askep Halusinasi. Diambil  pada tanggal 17 Juli 2009 jam 17.00 WIB dari http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/04/16/askephalusinasi

Intan Sari N. (2005). Aplikasi Proses Keperawatan. Yogyakarta: Mocomedica

Khaidir Muhaj. (2009). Askep Halusinasi. Diambil  pada tanggal 17 Juni 2009 jam 17.00 WIB dari http://khaidirmuhaj.blogspot.com/2009/05/askep-halusinasi.html

Kaplan, Harold, I. alih bahasa : W.M. Roan. (1998). Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta:  Widya Medika

                              . alih bahasa : Dr. Widjaja. (1997). Sinopsis Psikiatrik. Jakarta: EGC

Leksikon. alih bahasa : Tun, K. Bastaman. (2003). Istilah Kesehatan Jiwa dan psikiatrik. Jakarta: EGC

Mahnum Lailan Nasution. (2008). Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi. Diambil  Pada Tanggal 17 Juli 2009 jam 17.00 WIB dari http://lensaprofesi.blogspot.com/2008/11/gangguan-persepsi-sensori-halusinasi.html

Stuart, Gail Wiscarz, alih bahasa : Ramona P. (2006), Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Tomb, David A. alih bahasa : Martina wiwin. (2002). Buku Saku Psikiatri. Jakarta: EGC

Townsend, Mary C. alih bahasa : James Veldman. (2003). Buku Saku Pedoman Obat Dalam Keperawatan Psikiatri. Jakarta: EGC


Tidak ada komentar:

Posting Komentar